Foto: Kotak suara, sumber foto: Harian Momentum
Oleh : Agung Wahyudin
Stramed, Pelaksanaan Pemilu 2019 yang dilaksanakan 17 April 2019 di 80 Dapil telah berhasil mendapatkan 575 anggota DPR-RI periode 2019 s.d 2024. Dari 16 partai politik peserta Pemilu 2019, 9 Parpol dinyatakan memenuhi ambang batas parlemen 4 persen dan berhak menempatkan kadernya menjadi anggota DPR-RI yaitu PDIP (128 kursi); Partai Golkar (85 kursi); Partai Gerindra (78 kursi); Partai Nasdem (59 kursi); PKB (58 kursi); Partai Demokrat (54 kursi); PKS (50 kursi); PPP (19 kursi). Sedangkan 7 Parpol tidak memenuhi ambang batas dan tidak berhak mengirimkan calegnya ke DPR-RI walaupun perolehan suaranya mencukupi. Tidak ada Parpol baru yang mendapatkan kursi di DPR-RI.
Partai politik dengan kenaikan kursi tertinggi diperoleh Partai Nasdem (bertambah 24 kursi); PDIP (bertambah 19 kursi), PKB (bertambah 11 kursi), PKS (bertambah 10 kursi) dan Partai Gerindra (bertambah 5 kursi). Sementara Parpol yang menurun jumlah kursinya yaitu PPP (berkurang 20 kursi), Partai Hanura (berkurang 16 kursi), Partai Demokrat ( berkurang 7 kursi) dan Partai Golkar (berkurang 6 kursi). Nasib paling “sial” dialami Partai Hanura, karena sejak dipimpin Oesman Sapta Odang, Partai Hanura kehilangan semua kursinya, tidak memenuhi ambang batas parlemen 4 persen dan harus memulai dari nol pada Pemilu 2024.
Jumlah anggota DPR-RI periode 2019 s.d 2024 yang berusia 40 tahun ke bawah turun dibandingkan pada periode 2014-2019. Hanya 72 orang dari 575 anggota DPR atau 12,5% tergolong muda. Dibandingkan pada keanggotaan DPR – RI periode 2014 s.d 2019 mencapai 92 orang dari 560 anggota DPR-RI atau 16,4% jelas mengalami penurunan. Selain itu, dari 72 anggota DPR-RI periode 2019 s.d 2024, sebanyak 50% merupakan bagian dari politik kekerabatan.
Pelaksanaan Pemilu 2019 juga dinilai sudah Jurdil berdasarkan hasil survei dari Saiful Mujani Research and Consulting (SRMC) yang dilaksanakan periode 20 Mei s.d 1 Juni 2019 serta survei Cyrus Network periode 22 sampai 28 Juli 2019, walaupun ada kecenderungan kepuasaan masyarakat terhadap Pemilu yang Jurdil mengalami penurunan. Berdasarkan hasil survei SMRC pada Pemilu 2004 (sebesar 73,1% masyarakat menganggap Pemilu dianggap Jurdil), Pemilu 2009 (67,1%), Pemilu 2014 (70,7%) dan Pemilu 2019 (69%).
Beberapa catatan terkait Pemilu 2019 antara lain : pertama, adanya rintangan berupa ujaran kebencian, isu SARA, dan hoax ketidakpercayaan terhadap sistem aplikasi KPU. Kedua, Majelis Rakyat Papua Barat mengumpulkan caleg OAP yang gagal. Kemudian, Solidaritas Mahasiswa Pencinta Tanah Papua pernah berunjuk rasa agar ada PKPU bahwa Gubernur, Sekda, Kepala OPD harus berasal dari OAP. Ketiga, menurut Siti Zuhro yang juga pengamat politik LIPI, hasil Pemilu 2019 akan menghasilkan koalisi besar dan akan membuat sistem “executive heavy”. Apabila sistem tersebut terbangun, maka mekanisme check and balance akan susah terjadi, karena posisi Pemerintah menguat dan posisi DPR melemah, sehingga Indonesia akan kembali dalam sistem otoritarian. Keempat, pelaksaaan Pemilu 2019 menyulitkan konsentrasi partai politik antara Pilpres dengan pemilihan Pileg, sehingga perlu ada revisi UU Pemilu.
Disamping itu, perlu peningkatan netralitas komisioner KPU dan Bawaslu di daerah, karena banyaknya pelanggaran kode etik dilakukan oleh mereka yang diadukan ke DKPP-RI.
Usulan yang muncul pasca pelaksanaan Pemilu 2019 :
Ada beberapa usulan dari kalangan pengamat, NGO, media massa, Parpol bahkan dari grassroots pasca pelaksanaan Pemilu 2019 sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap nasib bangsa antara lain : pertama, perlunya revisi UU Pemilu mengenai pemisahan waktu penyelengaraan Pilpres dan Pileg, dimana Pileg dan Pilpres terpaut dua minggu atau satu bulan.
Kedua, pelaksanaan Pileg hanya meliputi pemilihan DPR, DPRD tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota. Sementara pemilihan DPD digabung dengan pelaksanaan Pilpres.
Ketiga, adanya usulan terkait pelaksanaan e-Voting, hal ini relevan dengan kondisi terkini yang memasuki era Revolusi 4.0.
Keempat, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mendorong dilakukannya revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wall Kota menjelang pelaksanaan Pilkada 2020. Undang-undang tersebut perlu disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena terdapat sejumlah perbedaan signifikan terkait pengawas pemilihan. Perbedaan itu, antara lain, pada UU Pemilihan Gubemur, Bupati, dan Wali Kota atau UU Pilkada, pengawas penyelenggaraan pemilihan di wilayah kabupaten/kota adalah Panitia Pengawas yang dibentuk oleh Bawaslu Provinsi (Pasal 1 Angka 17).
Sementara di dalam UU Pemilu disebutkan, badan untuk mengawasi penyelenggaraan pemilihan di wilayah kabupaten/kota adalah Bawaslu Kabupaten/Kota. Bawaslu memiliki kewenangan untuk mengadili dan memutus sengketa administrasi pemilihan, sedangkan Panwaslu dalam UU Pilkada hanya memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi.
*) Pemerhati masalah Indonesia.
Disclaimer : Setiap opini di media ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.