Timur Tengah terus memanas karena AS terus dukung Israel, Belize dan Chad serta 8 negara lain putus hubungan diplomatik dengan negara zionis tersebut

KN. Amerika Serikat (AS) kembali melontarkan tudingan ke Israel terkait isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Tepi Barat. Ini terjadi saat Negeri Paman Sam dianggap menjadi mitra terkuat Negeri Zionis tersebut. Terbaru, Washington menyatakan lima unit pasukan keamanan Israel bertanggung jawab atas pelanggaran berat hak asasi manusia sehingga berpotensi dikenai sanksi. Ini terkait insiden di Tepi Barat sebelum perang Gaza saat ini.

“Setelah proses yang hati-hati, kami menemukan lima unit Israel bertanggung jawab atas insiden pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Semua ini merupakan insiden sebelum tanggal 7 Oktober dan tidak ada yang terjadi di Gaza,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Vedant Patel, dikutip The Guardian.

Dari lima unit, empat unit tersebut dinilai telah melakukan tindakan perbaikan yang efektif setelah Departemen Luar Negeri AS membagikan temuannya kepada Israel.

Akan tetapi, yang kelima, unit militer ultra-ortodoks yang dikenal sebagai Netzah Yehuda, yang sebagian berasal dari pemukim Tepi Barat, akan dimasukkan ke dalam daftar hitam awal bulan ini berdasarkan undang-undang Leahy. Unit tersebut terancam tidak akan dapat pendanaan AS.

“Empat dari unit-unit ini telah secara efektif memperbaiki pelanggaran-pelanggaran ini, dan hal ini merupakan apa yang kami harapkan akan dilakukan oleh para mitra… Untuk unit-unit lainnya, kami terus melakukan konsultasi dan keterlibatan dengan pemerintah Israel.”

Netzah Yehuda memang memiliki catatan kelam dalam perlakukannya terhadap tahanan Palestina. Pada tahun 2022, komandan batalyon itu ditegur dan dua petugas dipecat atas kematian seorang warga Amerika keturunan Palestina yang lanjut usia setelah ditahan di Tepi Barat.

Dengan adanya pengumuman ini, pengacara pemerintah Israel segera menghubungi Washington dan bersikeras bahwa berdasarkan nota kesepahaman AS yang berdurasi 10 tahun, Israel harus diberi lebih banyak waktu untuk menanggapi sanksi tersebut.

Selaras, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menggambarkan potensi sanksi AS terhadap unit tersebut sebagai “puncak absurditas dan rendahnya moral” dan berjanji untuk menolak keputusan semacam itu.

Menteri Luar Negeri Iran, Hossein Amir-Abdollahian mengingatkan Uni Eropa untuk menghormati Angkatan Bersenjata negaranya sesuai dengan hukum internasional.

Hal itu disampaikannya usai sejumlah anggota perlemen Uni Eropa meminta Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) dimasukan ke dalam daftar organisasi teroris.

Dalam panggilan telepon dengan Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Joseph Borrell pada Rabu (1/5/2024), Amir-Abdollahian memperingatkan Uni Eropa untuk tidak sembrono dengan memasukan IRGC sebagai teroris.

“IRGC memainkan peran konstruktif dalam membangun keamanan abadi di kawasan dan memerangi terorisme,” ujarnya, dikutip dari PressTV.

Sementara itu, Inggris menentang Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) didaftarkan sebagai teroris.

Sebab apabila IRGC didaftarkan sebagai organisasi teroris akan banyak menimbulkan kerugian secara global, dan meningkatkan ketegangan di kawasan Timur Tengah.

Hal tersebut diungkapkan Menteri Luar Negeri Inggris, David Cameron dalam pertemuan dengan Komite Hubungan Internasional dan Pertahanan House of Lords. Ia mengatakan sanksi yang telah dijatuhkan terhadap Iran sudah cukup, dan menentang Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) dicap sebagai organisasi teroris.

Cameron mengklaim bahwa tindakan tersebut dapat memutus hubungan diplomatik yang penting bagi Inggris.
Menurutnya, IRGC juga telah melakukan beberapa upaya plot di wilayah Inggris.

Meskipun demikian, Cameron menyatakan bahwa sanksi yang diterapkan saat ini terhadap IRGC sudah cukup bagi Inggris untuk mengatasi segala aktivitas ilegal yang dilakukan Iran.

Sebelumnya, sejumlah anggota perlemen Uni Eropa bersikeras ingin memasukan Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) sebagai daftar entitas teroris.

Namun hal tersebut ditentang keras oleh Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borrell. Ia telah menegaskan kembali penolakan tersebut untuk menyebut IRGC sebagai entitas teroris.

Pernyataannya itu memicu kritik lebih lanjut dari anggota Parlemen Eropa selama debat pleno pada Rabu.

Menanggapi serangan Iran terhadap Israel bulan ini, Josep Borrell mengatakan langkah-langkah baru sedang diterapkan terhadap Teheran.

Termasuk memperluas sanksi yang ada terkait drone dan rudal, serta memperluas tindakan ini ke kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan Iran di Timur Tengah.

Uni Eropa (UE) belum menetapkan IRGC sebagai organisasi teroris, meskipun ada seruan untuk melakukan hal tersebut dan resolusi Parlemen Eropa tahun lalu yang menyetujui hal tersebut.

Menanggapi argumen Borrell bahwa dasar hukum untuk memasukan IRGC dalam daftar teroris belum terpenuhi, Charlie Weimers, perwakilan Swedia, menyebut ketua UE tersebut sebagai pembohong.

Anggota parlemen Jerman Hannah Neumann, yang telah lama mendukung pembentukan IRGC sebagai daftar teroris, mengatakan “Apa lagi yang harus dilakukan rezim ini sampai Anda akhirnya sadar akan kenyataan pahit? IRGC adalah organisasi teror,”

Beberapa anggota Parlemen Eropa dan aktivis telah mengambil langkah-langkah untuk mempersiapkan landasan bagi UE untuk menindaklanjuti seruan agar IRGC dimasukkan ke dalam daftar organisasi teror. Juli 2023, dua anggota Parlemen Eropa menyatakan bahwa IRGC dapat didaftarkan tanpa hambatan hukum berdasarkan Pasal 1(4) “Posisi Bersama 2001/931/CFSP.”

Pandangan ini juga disetujui oleh mantan pemimpin Iran di pengasingan, Reza Pahlavi. Ia mengutip sekelompok pengacara Perancis-Iran yang berpandangan bahwa Uni Eropa tidak memiliki hambatan hukum untuk memasukkan Garda Revolusi ke dalam daftar hitam.

Israel belakangan ini menjadi sorotan kembali usai Perdana Menteri Benjamin Netanyahu disebut akan ditangkap oleh Mahkamah Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC) pada pekan ini.

Sejumlah pejabat tinggi Israel yang terlibat dalam konflik Israel-Hamas kerap khawatir menghadapi gugatan tersebut.

Tak hanya pejabat Israel, sejumlah negara juga dikabarkan telah memutus hubungan dengan Tel Aviv karena ulahnya yang semakin menjadi-jadi dalam beberapa waktu ini.

Melansir dari Axios, terdapat 10 negara yang melakukan tindakan diplomatik guna memutus hubungan dengan Israel sejak tahun lalu.

Parlemen Bahrain memutuskan untuk menarik duta besarnya untuk Israel agar kembali ke pada November 2023 lalu. Duta besar Israel di negaranya juga telah diusir untuk memutus hubungan dalam sementara waktu.

Tindakan demikian berlaku usai Israel melancarkan serangan tanpa henti ke Jalur Gaza sejak Oktober 2023.
Negara di Amerika Tengah Belize juga ikut menangguhkan hubungan dengan Israel.

Pemerintah Belize memutuskan untuk cabut Konsulat Kehormatannya di Tel Aviv dan mencabut akreditasi duta besar Israel untuk Belize.
Chile memutuskan untuk memanggil kembali duta besarnya di Tel Aviv sejak November 2023 lalu.

Negeri Para Penyair tersebut melakukan hal demikian usai melihat tindakan Israel di Jalur Gaza yang ‘tidak dapat diterima terhadap Hukum Humaniter Internasional.’

Pemerintah Bolivia mengumumkan untuk putus hubungan diplomatik dengan Israel usai menanggapi serangan brutal di Jalur Gaza.

Bolivia sebelumnya pernah melakukan hal serupa pada 2009 sebagai protes atas pertempuran di Gaza. Namun hubungan tersebut terjalin kembali pada 2020.

Sebuah negara di benua Afrika turut menarik perwakilan diplomatiknya untuk kembali. Ini merupakan salah satu keputusan imbas tindakan brutal Israel di Jalur Gaza.

“Chad mengutuk hilangnya banyak nyawa warga sipil tak berdosa dan menyerukan gencatan senjata yang mengarah pada solusi jangka panjang terhadap masalah Palestina,” ujar Kementerian Luar Negeri Chad.

Honduras memutuskan untuk menarik kembali duta besar untuk Israel usai melihat situasi yang kian mencekam di Jalur Gaza.

Terlebih, salah satu perwakilan dari Kedutaan Besar Israel disebut telah terlibat dalam skandal pencucian uang dan terkait dengan perdagangan kokain pada Januari lalu.

Salah satu tetangga Israel, Yordania turut menarik duta besarnya untuk Israel pada awal November 2023.

Yordania menuduh bahwa Israel menciptakan ‘bencana kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.’ Israel pun turut mengevakuasi sejumlah pejabat Kedubes di Yordania usai melakukan sebuah serangan di Jalur Gaza.

Pemerintah Turki turut memanggil duta besarnya dari Israel untuk kembali usai melihat kejadian kelam yang dialami warga Palestina.

Erdogan (Gzero Media)

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan juga baru-baru ini memutus semua hubungan perdagangan dengan Israel imbas dari kehancuran yang dialami warga Palestina. Erdogan mengatakan hal ini sebagai upaya untuk menekan negara-negara Barat yang ‘hanya melihat’ Gaza hancur perlahan.

Setelah Chad, Afrika Selatan juga disebut menarik sejumlah perwakilan diplomatiknya dengan Israel untuk ‘mempertimbangkan kembali’ upaya hubungannya dengan Tel Aviv.

Pemerintah Afsel mengancam akan memutus hubungan lebih lanjut jika Israel tak segera melakukan gencatan senjata.

Presiden Kolombia Gustavo Petro baru-baru ini menyatakan bakal memutus hubungan diplomatik dengan Israel. Ia menyebut hal itu usai genosida yang dilakukan Israel dalam beberapa waktu terakhir.

Petro menyampaikan pengumuman tersebut dalam sebuah rapat umum May Day di Bogota. Ini menjadi salah satu upaya ancaman bagi Israel yang kian menguat usai tindakannya yang semakin brutal di Jalur Gaza. Bogota resmi memutus hubungan dengan Israel sebagai salah satu penegasan dari pemerintah Kolombia terhadap tindakan keji Tel Aviv.

Pasukan Israel ramai-ramai membelot dan ‘mengibarkan bendera putih’ di Gaza. Menurut laporan media Israel Channel 12, para tentara Israel mengaku kelelahan dengan perang yang berlangsung hampir tujuh bulan itu.
Total 30 anggota tentara Israel, Pasukan Pendudukan Israel (IOF), membelot dan menolak mematuhi perintah invasi darat di kota Rafah, Gaza.

“Pasukan dari kompi pasukan terjun payung cadangan yang tergabung dalam Brigade Pasukan Terjun Payung reguler dilaporkan menerima perintah untuk mempersiapkan aksi di Rafah,” kata Channel 12 memberitakan, dikutip dari laman Al Mayadeen.

Pejabat Angkatan Darat Israel sendiri sudah mengatakan bahwa mereka tidak akan memaksa personel cadangan untuk ikut serta dalam invasi. Namun penolakan mereka dikatakan sebagai indikasi jelas berkurangnya pasukan cadangan setelah pertempuran berbulan-bulan.

Laman yang sama juga memberitakan bagaimana media Channel 7 Israel melaporkan bahwa lebih dari seratus perempuan yang wajib militer di Israel menolak menjadi tentara pengintai di dekat garis pemisah dengan Gaza. Laporan itu mengatakan ini adalah sejumlah besar penolakan memang sudah terjadi di unit tersebut.

Sementara itu, mantan kepala Direktorat Operasi IOF Israel Ziv menyatakan penolakan terhadap serangan militer apa pun di Rafah wajar di tengah tidak adanya rencana tata kelola pasca operasi. Dia bahkan mengklaim itu sama saja operasi “bunuh diri”.

Ia mencatat bahwa invasi Rafah mempunyai risiko yang tinggi, lebih tinggi dibandingkan semua yang dilakukan IOF di Gaza. Hal itu mengingat fakta bahwa Rafah adalah sebuah wilayah yang strategis, tempat yang sangat ramai dan sulit untuk “diperjuangkan”.

“Belum lagi kepekaan AS dan Mesir terhadapnya,” ujarnya menyebut sekutu Israel Amerika Serikat dan tetangga Rafah, Mesir.

Sebelumnya, Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu berjanji untuk melancarkan serangan ke kota Rafah di Gaza selatan. Padahal kota itu tempat ratusan ribu warga Palestina berlindung dari perang yang telah berlangsung sejak Oktober.

Komentar Netanyahu muncul beberapa jam sebelum Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken tiba di Israel untuk memajukan perundingan gencatan senjata, yang tampaknya menjadi salah satu putaran negosiasi paling serius antara Israel dan Hamas sejak perang dimulai.

Kesepakatan itu dimaksudkan untuk membebaskan sandera, memberikan bantuan kepada masyarakat dan mencegah serangan Israel ke Rafah, serta potensi kerugian bagi warga sipil di sana.

Berbicara kepada sekelompok keluarga yang berduka dan satu organisasi yang mewakili keluarga sandera yang disandera oleh militan, Netanyahu mengatakan Israel akan memasuki Rafah untuk menghancurkan batalion Hamas di sana. Terlepas dari apakah kesepakatan gencatan senjata untuk sandera tercapai atau tidak.

Sebenarnya Netanyahu juga telah menghadapi tekanan dari mitra pemerintahannya yang nasionalis untuk tidak melanjutkan kesepakatan yang mungkin mencegah Israel menginvasi Rafah. Pemerintahannya bisa terancam jika dia menyetujui kesepakatan tersebut karena anggota kabinet garis keras menuntut serangan terhadap Rafah.

Sekelompok pengacara disebut mengajukan petisi ke Mahkamah Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC) untuk mendesak rilis surat penangkapan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan sejumlah pejabat tinggi.

Mereka mengajukan tuntutan terhadap 12 pejabat tinggi Israel yang diduga terlibat dalam perilaku genosida dan krisis kemanusiaan yang terjadi di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 lalu.

Kelompok yang berjumlah sekitar 200 pengacara menyebut diri mereka sebagai ‘Pengacara Perdamaian’ mengajukan tuntutan hingga petisi ke ICC yang bermarkas di Den Haag, Belanda.

“Permohonan kami terdiri dari 163 halaman dan merupakan salah satu yang paling komprehensif di antara tuntutan pidana yang diajukan sejauh ini. Kami telah mengajukan permohonan ke Kantor Kejaksaan ICC terhadap total 12 pejabat Israel,” ujar salah satu dari kelompok Pengacara Perdamaian, Ibrahim Yildrim seperti dikutip dari Anadolu Agency. Ia lanjut menjelaskan terdapat sembilan tim ahli hukum yang telah disiapkan guna mendorong surat penangkapan terhadap Netanyahu.

“Kami mengirimkan tuntutan pidana ke Kantor Kejaksaan ICC kemarin atas nama kelompok kami. Kami juga telah meluncurkan kampanye di mana mereka yang ingin mendukung petisi ini dapat menambahkan tanda tangan mereka. Jumlah penandatangan sudah melebihi 500 orang,” ungkap Yildirim.

Ia menggarisbawahi jika tuntutan ini dapat membantu untuk meyakinkan Kejaksaan ICC dengan berbagai bukti kuat.

Rencana mengenai penangkapan Netanyahu Cs telah menjadi sorotan dunia. Sebab, agresi brutal Israel yang telah menewaskan lebih dari 34.000 warga Palestina disebut sebagai tindakan genosida.

Israel dilaporkan memberi waktu satu minggu kepada Hamas untuk menyetujui perjanjian gencatan senjata, atau mereka akan melanjutkan operasi militernya di Rafah.

Laporan itu berasal dari lansiran The Wall Street Journal yang mengabarkan kalau para pejabat Mesir telah menyampaikan pesan Israel tersebut kepada Hamas.

“Para pejabat mengatakan Mesir bekerja sama dengan Israel dalam proposal gencatan senjata yang direvisi dan disampaikan kepada Hamas akhir pekan lalu, namun pemimpin militer Hamas Yahya Sinwar belum menanggapinya,” menurut laporan itu.

Direktur CIA William Burns tiba di Kairo pada Jumat untuk bertemu dengan para pejabat Mesir mengenai pembicaraan untuk mencapai gencatan senjata di Gaza.

Saluran Berita Al-Qahera milik pemerintah Mesir mengutip seorang sumber senior Mesir yang mengatakan kalau Mesir akan menerima delegasi dari Hamas pada hari Sabtu untuk membahas proposal gencatan senjata.

Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry mengkonfirmasi pada hari Senin dalam pertemuan Forum Ekonomi Dunia di Arab Saudi bahwa ada proposal baru untuk gencatan senjata di Jalur Gaza yang diblokade.

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken juga mengatakan pada hari Senin bahwa Hamas mendapat proposal yang “luar biasa, murah hati dari pihak Israel.”

Hamas diperkirakan menyandera lebih dari 130 warga Israel, sementara Tel Aviv menahan lebih dari 9.100 warga Palestina di penjaranya.

Kesepakatan sebelumnya pada November 2023 mencakup pembebasan 81 warga Israel dan 24 warga asing dengan imbalan 240 warga Palestina, termasuk 71 wanita dan 169 anak-anak.

Proposal baru-baru ini dilaporkan menyarankan gencatan senjata selama enam minggu, di mana Hamas akan membebaskan 33 sandera, termasuk perempuan, tentara wanita, orang lanjut usia, dan tawanan yang terluka, sebagai imbalan atas pembebasan sejumlah besar warga Palestina dari penjara-penjara Israel.

Hamas menuntut diakhirinya serangan mematikan Israel di Jalur Gaza dan penarikan pasukan Israel dari wilayah tersebut untuk kesepakatan pertukaran sandera-tahanan dengan Tel Aviv.

  • Related Posts

    Gaza

    KN. Indonesia and seven other countries—Jordan, the UAE, Pakistan, Türkiye, Saudi Arabia, Qatar, and Egypt—are prepared to collaborate with the U.S. to end the war in Gaza, as stated in…

    Indonesia, the world’s largest palm oil producer

    KN. According to Akhmad Hanan, Independent Indonesian Researcher specializing in geopolitics and energy, Indonesia, the world’s largest palm oil producer, is once again at the centre of global energy and…

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *