Stramed, PDIP, Gerindra dan Golkar masih menjadi tiga partai yang menduduki posisi puncak untuk pemilu 2024 mendatang, dan tetap didominasi oleh PDIP. Sedangkan untuk aliran santri atau islam politik berdasarkan hasil survei tetap diisi oleh PKB, PKS dan PPP, demikian dikatakan oleh Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo, dalam webinar “Meneropong 2024: Capres Potensial & Persaingan Partai Rumpun Beringin”, Jum’at (26/02).
Partai Golkar atau partai priyayi telah mengalami perpecahan sejak masa reformasi. Pecahannya adalah Gerindra, Demokrat dan NasDem. Ada tokoh-tokoh yang potensial dalam bursa capres 2024, seperti Ganjar Pranowo, Risma, Puan dan Ahok. Faktor figur atau tokoh melekat pada elektabilitas partai. Prabowo dan Sandiaga Uno juga merupakan nama-nama yang masih masuk dalam bursa capres dari partai Gerinda, ujar Direktur Eksekutif PARA Syndicate.
Direktur Eksekutif Indopolling Network Wempy Hadir menyampaikan bahwa peta kekuatan partai berdasarkan pemilu 2019, terlihat bahwa 3 partai besar memperoleh kursi signifikan yakni PDIP, Golkar dan Gerindra. Partai PDIP merupakan satu-satunya partai yang kemungkinan besar bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden sekaligus, walau ada kemungkinan melakukan koalisi dengan Gerindra, tetapi sejarah mencatat koalisi PDIP Gerindra tidak pernah berhasil.
Golkar mengalami koreksi yang cukup dalam karena sedang terpuruk. Berdasarkan survei LSI, perbandingan kursi DPR RI Partai Golkar hanya 10% dan berdasarkan survei Litbang Kompas hanya 3,4%.Total perolehan kursi Beringin Connection di DPR RI Pileg 2019, 48% (276 kursi). Golkar 14,78%, Gerindra 13,57%, Nasdem 10,26%, dan Demokrat 9,39%. Berbicara Cluster Parpol, walaupun secara cluster bisa dikategorikan tiga, namun terkadang tidak ada pembatas yang jelas antara satu parpol dengan parpol lainnya. Parpol Abangan: PDIP, Parpol Santri: PPP, PKB, PKS dan PAN, Parpol Priyayi: Golkar, Nasdem, Demokrat dan Gerindra, kata Wempy.
Figur potensial dari parpol dalam menyongsong Pilpres 2024: Menhan/Ketum Gerindra Prabobo Subianto, Menko Perekonomian/Ketum Golkar Airlangga Hartanto, Ketum Demokrat AHY, Ketua DPR RI/Kader PDIP Puan Maharani, Gubernur Jateng/Kader PDIP Ganjar Pranowo, Mensos/Kader PDIP Tri Rismaharini, Menparekraf/Kader Gerindra Sandiaga Uno, Ketua MPR RI/Kader Golkar Bambang Susetyo, Gubernur Jatim/Kader PKB Kofifah Indar Parawansa, Wagub Jatim/Kader Demokrat Emil Dardak. Dan figur potensial non partai: Gubernur DKI Jakarta Anis Baswedan, Menteri BUMN/Pengusaha Erick Tohir, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Kepala BIN Budi Gunawan, KSP/Mantan Panglima TNI Moeldoko, Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Mendagri/Mantan Kapolri Tito Karnavian, Mantan Menteri KKP/Pengusaha Susi Pudjiastuti, Menkopolhukam Mahfud MD, PSI/Musisi Giring Nidji, ungkap Direktur Eksekutif Indopolling Network
Kita mengharapkan ada perubahan King Maker pada 2024, jangan hanya lima tokoh itu saja. Jika UU Pemilu tidak diubah maka PDIP merupakan satu-satunya parta yang memiliki peluang dalam Pilpres 2024. Gerak elektabilitas dari tiga partai ini sangat menarik untuk dibicarakan, tetapi uniknya belum banyak perubahan sejak Pilpres 2019. Tidak ada perubahan signifikan pada angka-angka, ujar Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) Lucius Karus
Berdasarkan survei Litbang Kompas, elektabilitas Partai Golkar menurun. Hal ini berbeda dengan Partai Golkar pada masa sebelumnya yang selalu menjadi leading dan pembuat kebijakan di DPR, sehingga sekarang masyarakat dibuat seolah lupa apabila partai ini masih ada. Di bawah kepemimpinan Airlangga, Partai Golkar terlihat seperti bermain aman dan tidak seperti mau mengambil kendali yang kuat. Partai koalisi juga tidak terlihat menonjol, tidak terlihat keinginan untuk menjaga keharmonisan di antara koalisi, jelas Lucius.
Jangan sampai kesolidan partai-partai terganggu karena ada kepentingan politik menjelang Pemilu 2024. Golkar dan Nasdem sebetulnya memiliki keuntungan apabila UU Pemilu direvisi. Manuver-manuver partai politik tidak terlihat signifikan dalam satu tahun terakhir, terlihat dari hasil survei Kompas atau LSI. Semua partai politik pergerakannya stagnan, tidak ada perubahan signifikan apabila kita membicarakan pencalonan presiden. Ada banyak dinamika politik, yang baru akan terlihat tahun 2023 mendatang. Sebagai langkah awal untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas, kemunculan figur-figur ini dapat kita sambut sebagai tradisi politik, kata Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI).
Menurutnya elektabilitas Prabowo tidak terlalu tinggi sehingga perlu dipertimbangkan benar-benar. Kehadiran figur Anies dan Ganjar perlu dilihat sebagai sebuah peluang oleh partai-partai pengusung. Partai politik selalu menunggu pemilu untuk memulai kerja politik memenangkan pemilu. Apabila revisi UU Pemilu tidak dilakukan di periode ini, situasi memanas menjelang kontestasi diperkirakan akan muncul pada 2023. Situasi akan memanas apabila partai-partai baru mengeluarkan amunisinya, sehingga beban persiapan pemilu menjadi semakin berat.
Sedangkan menurut pengamat politik PARA Syndicate FS Swantoro bahwa apa yang terjadi di masa lampau, masih sangat relevan pada hari ini atau masa yang akan datang. Pada pemilu 1955 jawaranya PNI, Masyumi, NU dan PKI. Pemilu 2014 dan 2019 terlihat bahwa nasionalis dan islam masih mendominasi pertempuran politik. Partai abangan dan santri konteksnya agama atau kepercayaan, sedangkan priyayi adalah status sosial. Kemudian hal ini diadobsi menjadi politik nasional selama 30 tahun terakhir. Golongan politik di Indonesia tidak pernah terlepas dari golongan abangan, santri dan priyayi.
Suara Golkar kecenderungannya menurun padahal pada 2004 Partai Golkar memperoleh 128 kursi. Saat ini Golkar tidak memiliki tokoh yang memiliki daya tarik bagi calon pemilih. Isu-isu politik yang disampaikan oleh Golkar dipandang tidak menarik bagi kelompok wanita dan milenial. Logistik Golkar sudah mulai menipis. Isu politik yang dikampanyekan, harus bisa menjadi magnet bagi tiga kelompok pemilih, yaitu wanita, milenial dan pemula bisa juga ditambah birokrat. Berpolitik adalah bernegara, dan bernegara haruslah berkonstitusi. Hal ini perlu dilakukan oleh Golkar supaya suaranya jangan menurun, ungkap pengamat politik PARA Syndicate.
Presiden dari tentara endingnya selalu tidak happy ending, sehingga kandidiat militer sudah masa lalu. Kecenderungan capres lebih ke sipil seperti Pak Jokowi. Politik di Indonesia ini sulit diprediksi. Untuk melihat masa depan itu penting juga melihat masa lalu, nasionalis masih unggul di 2024 baru kemudian islam moderat seperti PKB, kalau PKS dan PAN di dalamnya masih terjadi konflik. Gerindra menikmati kabinet Pak Jokowi, karena Prabowo masuk ke dalam kabinet. Golkar tokohnya sudah habis, tidak punya tokoh yang bisa menghipnotis masa, tidak punya isu yang menggelegar. Politik Indonesia itu unpredictable, bisa saja nanti muncul nama baru seperti Ahok dan Sri Mulyani, terang FS Swantoro.(Red)