![](https://kongkownews.com/wp-content/uploads/2024/05/Kabinet.jpg)
KN. Gagasan penambahan kementerian jika rutin dilakukan dan terjadi selepas pemilihan umum (Pemilu) dikhawatirkan bakal memicu kolusi semakin menjalar sampai merusak tata kelola negara. “Besok pemilu yang akan datang tambah lagi jadi 60. Pemilu lagi, tambah lagi. Karena kolusinya semakin meluas, rusak nih negara,” kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Mahfud MD dalam Seminar Nasional “Pelaksanaan Pemilu 2024: Evaluasi dan Gagasan Ke Depan”, yang ditayangkan kanal YouTube Fakultas Hukum UII.
Mahfud juga sangat khawatir aksi korupsi semakin meluas bila wacana penambahan kementerian menjadi kenyataan. Dia mengatakan, terdapat celah buat melakukan praktik rasuah dalam setiap kementerian yang mendapatkan kucuran anggaran negara.
Mahfud menjelaskan, dalam aturan terdahulu hanya terdapat 26 kementerian di Indonesia. Lalu, setelah ada perubahan aturan, kini terdapat 34 kementerian.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Mahfud MD khawatir korupsi di Indonesia akan semakin banyak jika jumlah kementerian diperbanyak karena sumber korupsi ikut bertambah.
Mahfud menuturkan bahwa seseorang yang memenangkan pemilihan umum (pemilu) biasanya memiliki janji ke banyak pihak sehingga berniat menambah jumlah kementerian untuk mengakomodasi janji-janji itu. Menurut Mahfud, hal itu sudah terbukti karena jumlah kementerian di Indonesia kerap kali bertambah setiap pemilu selesai.
Mahfud pun mengaku pernah mengusulkan agar jumlah kementerian dipangkas, misalnya dengan menghapus kementerian koordinator (kemenko) yang dinilai tak berguna.
Eks calon wakil presiden pada Pilpres 2024 ini lantas membandingkan jumlah kementerian di Amerika Serikat yang hanya belasan dengan membawai direktur jenderal di setiap unit.
Presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, berencana menambah jumlah kementerian di pemerintahan mereka kelak, dari yang tadinya berjumlah 34 menjadi lebih dari 40. Gibran mengakui wacana itu sedang terus dibahas dan belum menjadi sebuah keputusan.
Gibran mengatakan, salah satu kementerian yang disiapkan untuk dibentuk adalah kementerian yang akan menangani program makan siang gratis. Menurut dia, program makan siang gratis mesti ditangani oleh satu kementerian khusus karena pelaksanaan program tersebut cukup kompleks.
Sebelumnya diberitakan, wacana menambah jumlah kementerian di bawah pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto, sudah mendapatkan dukungan dari elite Partai Gerindra. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman tidak memungkiri ada wacana menambah jumlah kementerian dari saat ini 34 menjadi 41 kementerian.
Menurut Habiburokhman, dalam konteks Indonesia, semakin banyak jumlah kementerian, justru baik bagi pemerintahan dan pelayanan publik. Karena, kata dia, Indonesia merupakan negara besar yang memiliki target sekaligus tantangan yang besar. ”Jadi, wajar kalau kami perlu mengumpulkan banyak orang (untuk) berkumpul di dalam pemerintahan sehingga menjadi besar,” ujarnya.
Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih periode 2024-2029, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mewacanakan penambahan jumlah kementerian menjadi 40 dari 34 di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin. Meskipun disebut wacana itu masih dibicarakan dan belum ditetapkan, tetapi menimbulkan pro dan kontra. Sebab, penambahan nomenklatur kementerian dinilai bakal menambah pos anggaran.
Di sisi lain, kubu Prabowo-Gibran menyebut bahwa penambahan kementerian dibutuhkan untuk menghadapi tantangan yang semakin kompleks ke depannya.
Apabila kembali ke belakang, setiap era pemerintahan memiliki jumlah kementerian yang berbeda. Kabinet Persatuan Nasional yang dibentuk era pemerintahan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri hanya memiliki 35 kementerian.
Kemudian, Kabinet Gotong Royong yang dibentuk Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dan Wakil Presiden Hamzah Haz menjadi kabinet yang teramping sejauh ini, dengan hanya 30 kementerian. Jumlah tersebut bertambah di dua era kepemimpinan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pertama didampingi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Periode kedua dengan Boediono.
Kabinet Indonesia Bersatu jilid I memiliki 35 pos kementerian. Sedangkan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II memiliki 34 kementerian.
Jumlah 34 pos kementerian berlanjut di era pemerintahan Presiden ke-7 RI Joko Widodo. Meskipun, ada sejumlah perubahan. Kabinet Indonesia Maju yang dibentuk Jokowi yang didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla memiliki 34 kementerian. Kabinet ini bertugas sejak 27 Oktober 2014 sampai 20 Oktober 2019.
Kemudian, pada era kedua kepemimpinannya periode 2019-2024, Jokowi membentuk Kabinet Indonesia Maju dengan 34 kementerian.
Rencana presiden terpilih 2024 Prabowo Subianto membentuk 41 Kementerian dalam kabinetnya dinilai sebagai pemborosan uang negara. Menurut Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari, penambahan kementerian akan berimplikasi pada pembentukan undang-undang baru dan penambahan beragam aturan terkait tugas pokok, fungsi dan kewenangan kementerian yang baru.
Feri menggambarkan, jika kementerian baru ditambah, implikasi terhadap penggunaan anggaran negara harus ditambah. Sebab, kementerian akan membutuhkan kantor-kantor wilayah yang baru di setidaknya 38 provinsi di Indonesia Selain itu, operasional lembaga tingkat kementerian tidak murah, menambah kementerian yang baru artinya menyiapkan sumber daya baik di bidang pegawai maupun untuk pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu, dia menilai nomenklatur kementerian yang sudah ada saat ini yaitu 34 kementerian sudah sesuai dengan batas maksimal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008.
Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Rosan Perkasa Roeslani enggan menjawab soal kemungkinan para mantan presiden, termasuk Ketua Umum PDI-P sekaligus Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dilibatkan dalam penyusunan kabinet Prabowo-Gibran. Menurut dia, hal ini sebaiknya ditanyakan langsung kepada Prabowo.
Saat ditanya apakah melibatkan para eks presiden untuk menyusun menteri di pemerintahan Prabowo-Gibran merupakan langkah yang bagus, Rosan menyebut Prabowo selalu mementingkan persatuan. Rosan menegaskan, Prabowo-Gibran tahu keputusan terbaik yang harus diambil.
Sebelumnya, Juru Bicara Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, Prabowo terbuka terhadap masukan dari banyak pihak dalam proses penyusunan kabinet pemerintahannya ke depan.
Prabowo disebut bakal mendengar masukan dari para presiden RI, seperti Presiden ke-7 RI Joko Widodo, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tak terkecuali Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri. “Pak Prabowo tentu akan mendengar dan meminta masukan dari Pak Jokowi sebagai presiden yang saat ini memerintah,” kata Dahnil dalam program Kompas Petang Kompas TV.
Bagi Prabowo, masukan para presiden terdahulu sangat penting. Baik Jokowi, SBY, maupun Megawati dinilai punya pengalaman panjang sebagai pemimpin negara.
Bahkan, Dahnil mengungkap, Prabowo ingin duduk bersama Jokowi, SBY, dan Megawati untuk berdiskusi mengenai banyak hal. Menteri Pertahanan itu menginginkan adanya semacam klub presiden. “Sehingga ada presidential club. Walaupun punya perspektif politik yang berbeda, sikap politik yang berbeda, tapi mereka bisa duduk bersama, bisa sharing pengalamannya,” kata Dahnil.
Sebagai presiden terpilih, ucap Dahnil, Prabowo tidak hanya berkomitmen melanjutkan pemerintahan Jokowi saja, tetapi juga kepemimpinan presiden-presiden sebelumnya, baik SBY maupun Megawati.
Untuk itulah, Prabowo membuka pintu diskusi dengan banyak pihak dalam menentukan kabinet ke depan, termasuk para pemimpin negara pendahulunya.
Direktur Nusakom Pratama Institute, Ari Junaedi menilai, wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming tidak tepat jika mengajak Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri berkonsultasi mengenai penyusunan kabinet. Sebab, Megawati dan PDI-P tidak masuk dalam barisan pengusung pasangan Prabowo-Gibran pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 lalu.
“Pertama, PDI-P dan Megawati adalah bukan pihak yang mendukung pencalonan Gibran sehingga secara fatsun politik memang tidak tepat bagi Gibran untuk melakukan hal tersebut,” kata Ari kepada Kompas.com. Ari mengatakan, rencana Gibran itu juga terkesan memosisikan dirinya masih berstatus kader PDI-P jika ingin berkonsultasi terkait penyusunan kabinet dengan Megawati. Padahal, Gibran dan PDI-P sudah berpisah jalan karena berada di dua kubu berbeda pada Pilpres 2024 lalu.
Ari justru menilai langkah PDI-P yang menolak rencana Gibran berkonsultasi dengan Megawati sebagai keputusan yang tepat. Menurut dia, sikap tersebut merupakan bentuk hormat kepada Prabowo dan Gibran agar menentukan susunan kabinetnya sendiri tanpa campur tangan pihak lain.
Di samping itu, Ari juga mengingatkan bahwa penyusunan kabinet adalah hak prerogatif seorang presiden, dalam hal ini Prabowo. Oleh karena itu, apabila Gibran ingin berkonsultasi dengan Megawati, wali kota Solo itu semestinya berkoordinasi terlebih dulu dengan Prabowo.
Oleh karena itu, apabila Gibran ingin berkonsultasi dengan Megawati, wali kota Solo itu semestinya berkoordinasi terlebih dulu dengan Prabowo.
Gibran mengaku ingin berkonsultasi dengan banyak tokoh nasional untuk mendapat masukkan perihal penyusunan kabinet pada pemerintahan berikutnya, termasuk Megawati. Rencana Gibran ini lantas direspons dingin oleh sejumlah politikus PDI-P. Masinton Pasaribu, misalnya, menganggap rencana Gibran ingin berkonsultasi ke Megawati hanyalah gimik. Menurut dia, Gibran tak perlu membangun komunikasi bergaya gimik seperti itu kepada Megawati karena tidak akan direspons oleh Megawati.
Politikus PDI-P lainnya, Hendrawan Supraktikno, mengingatkan bahwa presiden yang memiliki hak prerogatif untuk menyusun kabinet, dalam hal ini Prabowo Subianto, bukan Gibran. Oleh karena itu, menurut dia, semestinya Prabowo yang membuka komunikasi dengan Megawati jika ingin berkonsultasi soal penyusunan kabinet. “Yang komunikasi yang punya hak prerogatif, dalam hal ini Pak Prabowo. Mungkin Gibran bisa nimbrung atau diikutkan,” kata Hendrawan kepada Kompas.com.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Ujang Komarudin berpandangan, pembentukan presidential club tak serta merta dapat memperbaiki hubungan antara presiden yang berkonflik. Menurut dia, sulit untuk menyatukan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri dengan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan juga Presiden Joko Widodo (Jokowi), selama belum ada rekonsiliasi.
Seharusnya, kata Ujang, ada pertemuan antara pihak-pihak yang berseteru itu sebelum dipersatukan dalam satu wadah bernama Presidential Club. Sebab, tak menutup kemungkinan antara Megawati dengan Jokowi ataupun SBY, tetap saling bersaing dan menjatuhkan di dalam forum itu selama rekonsiliasi belum terjadi.
Meski begitu, Ujang menilai upaya presiden terpilih Prabowo Subianto menjembatani hubungan antarpendahulunya melalui presidential club, adalah langkah yang positif. Bagi Ujang, kondisi tersebut menjadi salah satu tantangan yang memang harus dihadapi oleh Prabowo.