Foto: Ilustrasi, sumber foto: Liputan 6
Oleh: Firdaus Baderi
Stramed-Jakarta, Ancaman resesi ekonomi global masih membayang-bayangi perekonomian Indonesia 2020. Pasalnya, Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) mengisyaratkan kondisi ekonomi pada 2020 akan mengarah ke resesi. Kondisi sulit tersebut, sedikit demi sedikit kini mulai terasa di dalam negeri, yang dilihat dari kinerja pertumbuhan ekonomi belakangan ini.
NERACA
Pengaruh tekanan global tersebut dapat dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi yang cenderung menurun. Menurut data BPS, pertumbuhan ekonomi RI padakuartal II-2018 masih tumbuh 5,27%. Namun, kemudian terus menurun berturut-turut menjadi 5,17%, 5,18%,5,07% dan 5,05%. Pada kuartalketiga 2019, pertumbuhan ekonomi kembali melorot ke level 5,02%. Penurunan kinerja pertumbuhan ekonomi domestik tersebut telah menimbulkan dampak, antara lain terhadap penerimaan pajak ke kas negara.
Menteri KeuanganSri Mulyani Indrawati pernah menyatakan ketidakpastianekonomi di global saat ini memiliki pola berbeda berbeda dibanding sebelumnya. Ketidakpastian yang terjadi sekarang ini menurutnya, semakin cepat berubah. Dia mencontohkan kesepakatan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dengan China. Awalnya pasar sempat dibuat gembira karena kedua negara memberikan sinyal akan menandatangani kesepakatan dagang.
Tapi, di tengah kegembiraan pasar tersebut secara tiba-tiba Presiden AS Donald Trump mengatakan kesepakatan dagang dengan China baru akan dilakukan setelah pemilihan presiden 2020. “Jadi artinya setiap hari ada harapan lalu kekecewaan. Dua kali. Demikian juga kondisi politik baik itu di Inggris maupun belahan dunia lain,” ujar Sri Mulyani, belum lama ini.
Diketahui, rencana pengunduran diri Inggris dari keanggotaan Uni Eropa (Brexit) juga masih menjadi perhatian dunia saat ini. Anggota parlemen Inggris sepakat untuk mengadakan pemilihan umum pada 12 Desember 2019 untuk mendukung upaya Perdana Menteri Boris Johnson memecahkan kebuntuan politik yang membuat Brexit tertunda tiga kali. “Jadi faktor ketidakpastian yang tidak ada polanya adalah menjadi penyebab lemahnya kepercayaan dari dunia usaha dan pelaku ekonomi,” ujarnya.
Ketidakpastian ekonomi, menurut Menkeu, sebenarnya biasa dihadapi oleh pelaku usaha. Hanya saja, pelaku usaha tak lagi bisa memproyeksi berbagai keputusan dalam bisnisnya di tengah ketidakpastian ekonomi global dengan pola baru seperti ini. “Hari ini yang kami percaya proyeksinya seperti ini, kemudian besok ada suatu kejadian jadi berubah sama sekali,” tutur dia.
Situasi ini akhirnya juga membuat ekonomi global semakin lesu. Makanya, Dana Moneter Internasional (IMF) meramalkan pertumbuhan ekonomi dunia hanya 3% tahun ini, turun dari posisi 2018 yang sebesar 3,6%. “IMF selalu mengatakan kalau pertumbuhan ekonomi dunia tiga persen itu sebetulnya sudah dekat resesi atau sudah resesi,” ujarnya.
Karena itu, Sri Mulyani menyatakan pemerintah akan memanfaatkan berbagai kebijakan fiskal demi menjaga ekonomi dalam negeri. Pemerintah siap menggelontorkan belanja lebih banyak demi menjaga daya beli masyarakat, sehingga tingkat konsumsi tidak merosot. “Kami di Kementerian Keuangan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai instrumen fiskal dalam rangka mengatasi ketidakpastian dan pelemahan yang berasal dari luar lingkungan perekonomian Indonesia,” ujarnya.
Pajak, Ekspor, Investasi
Data Kemenkeu mengungkapkan, penerimaan pajak hingga November 2019 baru mencapai Rp1.136,17 triliun, atau 72,02% dari target APBN 2019 sebesar Rp1.577,56 triliun. Realisasi itu turun 0,04% dibandingkan periode sama tahun lalu yang sebesar Rp1.136,66 triliun. Dengan realisasi tersebut, pemerintah dalam sebulan ini perlu mengejar pajak Rp441 triliun agar target yang mereka telah tetapkan tercapai.
Tidak ingin penurunan kinerja tersebut terus berlanjut dan berujung resesi, Presiden Jokowi memerintahkan menterinya untuk fokus menggenjot kinerja dua komponen pertumbuhan ekonomi, ekspor dan investasi.
Dua komponen pertumbuhan tersebut belakangan ini ternyata kinerjanya memang belum baik, Untuk ekspor, misalnya, pada kuartal III-2019 hanya tumbuh 0,02% dengan kontribusi ke PDB sebesar 18,75%.
Ekspor tersebut memang membaik dibanding kuartalsebelumnya. Pasalnya, pada waktu tersebut ekspor minus 1,98%. Tapi pertumbuhan ekspor tersebut masih lebih lamban jika dibandingkan dengan kuartal III-2018 yang 8,08% dan kuartal III-2017 yang masih tumbuh 16,48%.
Kinerja kurang menggembirakan juga terjadi pada investasi. Menurut data BPS, Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) yang merupakan indikator investasi tercatat hanya tumbuh 4,21%. Pertumbuhan tersebut melambat jauh jika dibandingkan dengan periode sama 2018 dan 2017 lalu yang masih bisa mencapai 6,96% dan 7,08%.
Presiden Jokowi pernah mengatakan, ada beberapa langkah yang perlu segera dilakukan agar kinerja dua komponen tersebut dalam menopang ekonomi bisa membaik. Berkaitan dengan ekspor adalah dengan menggenjot penyelesaian perjanjian dagang dengan sejumlah negara.
Perundingan yang diharapkan bisa segera diselesaikan adalah perjanjian perdagangan bebas antara 10 negara anggota ASEAN dengan lima negara mitra; China, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru dan Australia RCEP. Perjanjian perdagangan bebas ini diprediksi akan menjadi salah satu kerja sama besar.
Sebanyak 16 negara yang tergabung dalam perjanjian memiliki populasi 3,4 miliar orang dengan total PDB mencapai US$59,5 triliun atau sekitar 39% PDB dunia. Selain itu, Jokowi juga memerintahkan untuk menyelesaikan perundingan perjanjian dagang dengan Uni Eropa dan negara di kawasan Afrika.
Meski demikian, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal seperti dikutip cnnindonesia.com, mengatakan sejatinya ancaman resesi masih cukup jauh bagi Indonesia. Proyeksinya, ekonomi dalam negeri masih bisa melaju di kisaran 4,9-5,1% pada tahun ini dan tahun 2020. Proyeksi ini berdasarkan komponen pendukung pertumbuhan ekonomi dalam negeri saat ini yang mayoritas masih ditopang konsumsi domestik.
Selain itu, sejumlah data ekonomi dalam negeri juga masih menunjukkan Indonesia jauh dari ancaman resesi ekonomi. Dari inflasi, data BPS Inflasi secara tahun berjalan masih terkendali di level 2,37% dan secara tahunan (year-on-year/yoy) mencapai 3% pada November 2019.
Kurs rupiah, masih terjaga stabil walau di level Rp14 ribu-an. Meskipun masih jauh dari resesi, dia mengingatkan Presiden Jokowi tetap perlu hati-hati. Pasalnya, saat ini belum punya cukup bantalan cukup untuk membentengi ekonomi dalam negeri dari ancaman resesi. Menurut dia, ketika ancaman resesi muncul, harusnya pemerintah melakukan sinkronisasi bauran berbagai kebijakan, baik fiskal yang dikelola pemerintah, moneter yang dilakukan Bank Indonesia (BI), maupun sektor riil bersama para pengusaha.
Menurut dia, kebijakan di ketiga lini tersebut perlu disinkronkan agar daya beli dan tingkat konsumsi masyarakat terjaga. Kenapa? Karena pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini banyak bertumpu pada konsumsi rumah tangga.
*) Penulis adalah Pemred Harian Neraca
Disclaimer: Setiap opini di media ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.