Foto: Ilustrasi, sumber foto: Daftar Informasi
Stramed, Sejak 19 Agustus 2019, Tanah Papua dilanda oleh sejumlah demontrasi, kerusuhan, penangkapan, penembakan, pemenjaraan di beberapa kota di Papua. Keadaan kondusif dan aman secara permanen masih jauh dari harapan. Selain itu, situasi ini telah menimbulkan respons berbagai pihak ditingkatkan lokal, nasional, regional dan internasional termasuk fasilitasi pertemuan 61 orang Papua dengan Presiden Republik Indonesia. Sehubungan dengan itu Dewan Adat Papua (DAP) perlu memberikan pernyataan dan seruan untuk diperhatikan secara serius oleh para pihak di pemerintah dan masyarakat seperti berikut ini.
Penderitaan akibat ujaran dan perlakuan rasis kepada orang asli Papua bukan baru pertama kali terjadi. Sudah sejak lama ujaran rasis dan stigmatisasi telah dialami oleh orang asli Papua, yaitu sejak Indonesia menduduki Papua pada tahun 1963. Ujaran/ejekan oleh orang luar terhadap masyrakat adat Papua, seperti monyet, kera, atau gorila, atau stigma seperti pemabuk, pemalas, bodoh, bau, primitif, atau separatis adalah pengalaman yang sering kali diderita oleh orang asli Papua-baik di Tanah Papua maupun di berbagai tempat di Indonesia.
Berbagai pengalaman negatif dan penderitaan yang dialami tersebut berakumulasi dan muncul dalam bentuk demonstrasi-demonstrasi massal. Di sejumlah kota, demonstrasi tersebut berlangsung damai tanpa ada insiden. Di beberapa kota lain, terjadi tindakan kerusuhan. Kerusuhan tersebut merupakan respon atas perkataan rasis yang diucapkan oleh anggota organisasi dan oknum aparat tertentu kepada mahasiswa Papua yang bermukim di Malang dan Surabaya.
Sehubungan dengan hal tersebut, DAP mendesak Kapolri dan Panglima TNI untuk melaksanakan perintah Presiden RI Joko Widodo dengan segera memproses secara hukum dan mengadili oknum-oknum aparat yang terlibat dalam perbuatan ujaran rasis dan intimidasi di asrama mahasiswa Papua di Surabaya dan mengumumkan hasilnya secara terbuka. Pada saat yang sama, DAP mendesak Presiden Republik Indonesia untuk mengambil semua langkah dan tindakan yang perlu agar perlakuan rasis terhadap masyarakat adat Papua maupun suku/komunitas mana pun di Indonesia tidak boleh terjadi lagi.
DAP mendesak Kapolda Papua dan Kapolda Papua Barat untuk menghentikan proses pemeriksaan terhadap para demonstran di Tanah Papua. DAP mendesak agar aparat keamanan/hukum jangan cenderung sibuk dengan asap, sementara apinya, yaitu ujaran dan sikap rasis yang dilakuan terhada mahasiswa/ masyarakat Papua, tidak dipadamkan.
DAP juga menyerukan kepada para Gubernur, Bupati dan Walikota provinsi dan kabupaten/kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta, agar mengingatkan warga masyarakatnya bahwa hampir 1 (satu) juta hektar lahan pertanian terbaik, milik masyarakat adat Papua, telah diambil oleh Pemerintah sejak puluhan tahun yang lalu untuk digunakan sebagai lokasi transmigrasi. Di lokasi ini, warga yang berasal dari provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana disebut di atas menikmati kehidupan yang sangat baik. Sebaliknya, tidak jarang masyarakat adat Papua terusir dari tanah-tanah adatnya karena pembangunan kawasan-kawasan transmigrasi itu, di samping karena tanah-tanah adat mereka diberikan izin oleh negara untuk digunakan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan, pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), atau pertambangan umum, minyak dan gas.
Walaupun menerima masyarakat adat Papua menerima perlakuan seperti itu, mereka tidak pernah bersikap rasis terhadap masyarakat transmigran maupun masyarakat migran lainnya dari seluruh Nusantara yang terus membanjiri Tanah Papua.
Dalam beberapa kesempatan, media massa nasional tampak mengundang/ meminta pendapat dari oknum atau oknum-oknum yang mengklaim diri berasal dari Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Papua, yang pimpinannya justru berkedudukan di Jakarta. DAP Papua mengingatkan bahwa LMA dimaksud adalah organisasi yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia dan tidak memiliki legitimasi yang seharusnya dari masyarakat adat Papua. Hal tersebut telah ditunjukkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk Permohonan Nomor 121/PUU-XII/2014. Di dalam salah satu konklusinya, MK menyatakan secara tegas bahwa Para Pemohon (yaitu Ketua dan Sekretaris LMA Provinsi Papua) tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak atas nama masyarakat adat Papua. Dalam bagian sebelumnya MK menyatakan bahwa “… Tidak ada alat bukti yang menunjukkan bahwa organisasi tersebut adalah suatu Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang memenuhi unsur-unsur bahwa terdapat masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling). Selain itu tidak ada bukti yang menyatakan adanya suatu pranata pemerintahan adat, tidak ada bukti yang menyatakan bahwa terdapat harta kekayaan dan/atau benda-benda adat yang diatur dan ditetapkan dalam organisasi …”. Untuk itu, DAP menyerukan agar Pemerintah berhenti memfasilitasi dan memberikan dukungan kepada organisasi-organisasi yang tidak memiliki akar di kalangan masyarakat adat Papua. Di Tanah Papua terdapat lebih dari 253 suku, sehingga DAP mendesak agar Pemerintah tidak memfasilitasi bahkan mendukung pihak tertentu dengan memberikan sebutan Kepala Suku Besar Papua. Bagi DAP hal ini sesungguhnya adalah bentuk rekayasa atas dasar rasisme, karena menganggap orang Papua tidak mampu/tidak tahu mengorganisasi diri mereka sendiri untuk kepentingan hidup mereka sekarang dan masa datang. Rekayasa seperti ini telah menempatkan saudara kami, Lenis Kogoya, sebagai korban.
Terkait dengan pertemuan Presiden Republik Indonesia dengan 61 orang yang katanya tokoh-tokoh Papua, Dewan Adat Papua menegaskan hal-hal sebagai berikut : Pertemuan 61 ini sekali lagi mengingatkan kami tentang peristiwa PEPERA dimana, proses perekrutan dan pernyataan semua berjalan sangat tidak demokratis, dan terkesan tersembunyi. Cara ini kami gambarkan sebagai “mafia” formal. Untuk sebuah pertemuan yang sangat formal, berlangsung di Istana negara, dengan Presiden Republik Indonesia, tapi dijalankan dengan skenario yang sangat tidak bermartabat.
Kami memahami pertemuan ini sebagai politik belah bambu (ada yang diinjak, ada yang diangkat) untuk mengadu domba orang Papua dan juga sebagai tindakan yang didasarkan atas rasisme dan diskriminatif yang dilakukan oleh negara. Masyarakat Papua telah dianggap bodoh dan tidak mampu mengurus diri sendiri, sehingga tidak mampu menentukan representasi masyarakat Papua, serta tidak mampu untuk merumuskan apa yang terbaik untuk masa depan Papua.
Kami menyoroti legalitas 61 orang yang bertemu Presiden Republik Indonesia, sebagai dasar representasi. Bagi kami, 61 orang ini telah dijebak dalam suatu skenario yang membuat mereka terpaksa harus mengikuti skenario tersebut.
Peristiwa ini juga menunjukkan kepada kita semua bahwa Pemerintah Republik Indonesia tidak bekerja melalui mekanisme ketatanegaraan, karena institusi pemerintah Republik Indonesia di Tanah Papua (Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat, DPRP Provinsi Papua dan Papua Barat, MRP Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, dan Pemerintah Kabupaten/Kota setanah Papua), sama sekali tidak dilibatkan dalam proses mempersiapkan pertemuan tokoh Papua dengan Presiden Republik Indonesia.
Pertemuan Presiden RI dengan 61 orang dari Papua menunjukkan tidak adanya rasa empati dan solidaritas dengan korban-korban akibat rusuh di Papua, serta semua orang yang saat ini sedang menghadapi masalah hukum.
Kami meminta kepada Presiden RI untuk mengevaluasi dan menertibkan aparatur negara (Sipil, Intelijen, TNI dan Polri) yang menggunakan cara-cara mafia dalam merespon persoalan Papua. Cara yang dijalankan dalam mempersiapkan pertemuan 61 orang dengan Presiden RI sangat merugikan kredibitas Presiden RI, kredibitas negara, maupun merugikan uang negara.
Kepada seluruh anak-anak adat Papua dimanapun berada, kami menyerukan untuk tidak mudah menyerahkan diri dalam skenario pihak lain yang bertujuan memecah belah kesatuan masyarakat adat papua, dan membuat konflik diantara kita.
Terkait dengan nasib mahasiswa Papua yang sedang berstudi di luar Papua ataupun yang telah pulang ke Tanah Papua, Dewan Adat Papua menyerukan kepada Presiden Republik Indonesia, Gubernur Provinsi Papua dan Gubernur Papua Barat serta Bupati dan Walikota se-Tanah Papua untuk membangun komunikasi efektif dengan semua mahasiswa dan orang tua/wali serta masyarakat di kota-kota studi, perguruan tinggi negeri dan swasta di seluruh Indonesia untuk memastikan jaminan keamanan dan kelanjutan studi bagi mahasiwa/mahasiswi Papua diluar Tanah Papua.
Sebagai penutup, DAP perlu menegaskan bahwa rasisme terhadap masyarakat Papua sekarang ini adalah manifestasi dari kebijakan negara yang salah sejak awal. Masyarakat adat Papua tidak pernah dianggap mampu mengurus diri sendiri di atas tanah leluhurnya.
Sebagai akibatnya, sangat mudah orang-orang dari luar diangkat menjadi pejabat di Papua-walaupun mereka sesungguhnya tidak memiliki empati atau kapasitas untuk merancang program-program pembangunan yang benar-benar melindungi, berpihak dan memberdayakan masyarakat adat Papua (Red).







