
KN. Pilkada langsung yang dirumuskan kala itu berangkat dari semangat demokrasi partisipatoris, sebuah konsep yang mengedepankan keterlibatan rakyat dalam memilih pemimpin lokal. Harapannya, pemimpin yang dipilih langsung mampu memajukan daerahnya dengan lebih baik, sejalan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah. Selain itu, Pilkada langsung juga bertujuan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, meningkatkan pelayanan publik, serta menciptakan kesejahteraan masyarakat. Namun, cita-cita ini menuntut prasyarat yang tidak sederhana, salah satunya adalah pendidikan politik yang memadai bagi masyarakat.

Demikian disampaikan Prof. DR. Siti Zuhro dalam diskusi publik bertema “Plus Minus Pilkada oleh DPRD” yang diselenggarakan oleh Forum Insan Cita di Jakarta, seraya menambahkan sayangnya kondisi di lapangan masih jauh dari ideal. Berdasarkan data BPS, rata-rata pendidikan masyarakat Indonesia hanya setara lulusan SMP, dengan hanya sekitar 5% penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi. Rendahnya tingkat pendidikan ini menjadi salah satu tantangan dalam mengimplementasikan demokrasi langsung. Praktik politik seperti politik uang, dinasti politik, dan calon tunggal masih sering terjadi, menciptakan paradoks dalam demokrasi kita. Meskipun demokrasi partisipatoris menjadi tujuan, prasyarat untuk mencapainya belum sepenuhnya terpenuhi, sehingga pelaksanaannya sering menyimpang dari harapan awal.
“Dalam konteks ini, muncul gagasan mengenai Pilkada asimetris, yaitu hanya daerah tertentu yang dianggap siap yang dapat melaksanakan Pilkada langsung. Model ini mirip dengan konsep desentralisasi asimetris yang telah diterapkan di daerah seperti Aceh, Papua, Jakarta, dan Yogyakarta. Meskipun demikian, wacana ini membutuhkan kajian mendalam dan dukungan data empiris untuk memastikan penerapannya tidak menimbulkan ketimpangan baru. Alternatif lainnya adalah menyusun kebijakan Pilkada berbasis karakteristik daerah, sehingga sistem yang diterapkan lebih relevan dengan potensi dan tantangan lokal,” ujar peneliti senior BRIN ini.
Menurutnya, kita perlu mendorong literasi politik masyarakat hingga ke tingkat desa, terutama dalam menghadapi Pemilu Serentak 2024 serta masyarakat harus dididik untuk menolak praktik politik uang dan tidak memilih kandidat yang terlibat dalam korupsi politik. “Dengan evaluasi yang transparan, berbasis teori, dan didukung data, diharapkan sistem demokrasi kita dapat semakin baik dan inklusif, membawa manfaat nyata bagi masyarakat luas,” harap perempuan yang meraih gelar S1 dari Universitas Jember, Jawa Timur ini.
Sementara, Dr. A. Doli Kurnia Tandjung mengatakan diskusi mengenai “Plus Minus Pilkada oleh DPRD” yang berlangsung pada puncak HUT ke-10 Partai Golkar memunculkan pernyataan dari Presiden Prabowo yang mengundang banyak dialektika di kalangan peserta, dimana pernyataan beliau mengenai sistem politik dan demokrasi di Indonesia, khususnya dalam hal pelaksanaan Pemilu dan Pilkada, sangat relevan untuk dibahas.

“Poin utama yang disampaikan oleh Pak Prabowo adalah perlunya perbaikan sistem politik di Indonesia. Beliau menyoroti bahwa biaya politik yang tinggi dan adanya praktik-praktik tidak sehat dalam Pemilu dan Pilkada menjadi salah satu masalah yang perlu segera diatasi. Namun, meskipun beliau mengemukakan contoh dari negara-negara seperti Singapura, Malaysia, dan India yang memilih kepala daerah melalui DPR, kita harus mengingat bahwa sistem mereka berbeda, karena mereka mengadopsi sistem parlementer, sementara kita menggunakan sistem presidensial. Oleh karena itu, meskipun ada kesamaan, kita harus mempertimbangkan konteks politik yang ada di Indonesia sebelum memutuskan untuk mengadopsi sistem serupa,” ujar politisi Partai Golkar ini.
Menurut mantan Ketua Komisi II DPR RI ini, biaya politik yang tinggi ini menjadi masalah besar, terutama dalam hal penyelenggaraan Pemilu yang membutuhkan dana besar. Biaya ini sering kali membuat politik menjadi komoditas yang hanya bisa diakses oleh segelintir orang yang memiliki sumber daya finansial. Selain itu, hal ini juga membuka ruang bagi praktik money politics dan politik transaksional yang merusak integritas demokrasi kita. Jika ini terus dibiarkan, masyarakat akan semakin permisif terhadap praktik-praktik tersebut, dan ini dapat menurunkan moral bangsa serta meningkatkan potensi korupsi.
Untuk memperbaiki sistem, ujar anggota Komisi II DPR RI ini, kita perlu melakukan reformasi yang menyeluruh, termasuk dalam hal perubahan sistem Pemilu dan Pilkada. Salah satu solusi yang mungkin dapat dipertimbangkan adalah penerapan sistem pemilu tidak langsung yang lebih efisien dan dapat mengurangi biaya politik. Namun, perubahan sistem tidak boleh dilakukan dengan terburu-buru tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk memperbaiki aspek-aspek lain yang terlibat dalam Pemilu, seperti kualitas pengawasan oleh Bawaslu dan netralitas aparatur negara yang terlibat dalam proses politik. Dengan demikian, perbaikan sistem politik dan demokrasi di Indonesia dapat dilakukan secara lebih komprehensif dan efektif.
Sedangkan, Prof. M. Mahfud MD menyampaikan data yang menunjukkan bahwa sekitar 62% kepala daerah hasil pilkada terlibat dalam kasus korupsi. Data tersebut diperkuat hingga tahun 2020, ketika laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat bahwa 84% proses pilkada terindikasi melibatkan politik uang. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa akses anggaran daerah dan pengelolaan izin sumber daya alam cenderung dikuasai oleh cukong-cukong politik, yang berdampak negatif pada tata kelola pemerintahan.
“Organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah juga turut menyuarakan dukungan untuk kembalinya pilkada ke DPRD. Mereka menilai bahwa dampak kerusakan sistem pemilihan langsung lebih luas dan sistemik, sementara korupsi di level DPRD lebih mudah diawasi dan dilokalisasi. Pendapat ini mencerminkan kebutuhan akan pengelolaan sistem politik yang lebih terkendali untuk meminimalkan dampak negatif pada masyarakat secara umum,” tambah mantan Cawapres dalam Pilpres 2024 ini, seraya menambahkan, namun pandangan terhadap pilkada langsung juga mengalami perkembangan. Sistem ini membuka ruang partisipasi masyarakat yang lebih luas dan sejalan dengan semangat reformasi. Meski kekhawatiran terhadap politik uang tetap ada, pilkada langsung memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih pemimpinnya secara langsung.

Di sisi lain, ujar Mahfud MD, kritik juga diarahkan kepada penyelenggara pilkada seperti KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), yang terkadang diduga terlibat dalam praktik jual beli keputusan atau manipulasi demi kepentingan tertentu.
“Pertimbangan ekonomi menjadi faktor penting dalam perdebatan ini. Menurut teori yang dikemukakan oleh Budiono, keberhasilan pemilu langsung berkorelasi dengan tingkat pendapatan per kapita masyarakat. Dengan pendapatan per kapita Indonesia yang masih sekitar 4.700 USD, praktik jual beli suara masih sulit dihindari. Namun, apabila pendapatan per kapita meningkat menjadi 6.000 USD atau lebih, sistem pemilu langsung diyakini akan berjalan lebih efektif dan bersih. Oleh karena itu, setiap sistem memiliki kelebihan dan kekurangan yang harus dipertimbangkan secara matang. Diskusi terbuka diperlukan untuk menemukan solusi terbaik dalam memperbaiki mekanisme politik dan memperkuat demokrasi di Indonesia,” tambah mantan Menko Polhukam ini.