
KN. Tarif impor 145 persen yang dikenakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap produk China berpotensi menghancurkan banyak bisnis kecil alias UMKM AS.
Kenaikan tarif ini membuat biaya bahan baku melonjak drastis, sementara banyak pelaku UMKM tak memiliki pilihan lain karena bahan yang dibutuhkan tidak tersedia di dalam negeri.
Christina dan Ian Lacey, pasangan suami istri dari Denver, merupakan salah satu contoh pelaku UMKM yang terdampak.
Sejak 2017, mereka mendirikan Retuned Jewelry, bisnis perhiasan dari daur ulang senar gitar dan bass. Usaha ini mampu mencatat rata-rata penjualan tahunan sebesar US$360 ribu atau setara Rp6 miliar (asumsi kurs Rp16.828 per dolar AS), sebagian besar dari festival musik dan seni.

Namun, tarif impor baru mengancam keberlangsungan usaha mereka. Meskipun mereka menggunakan senar sumbangan sebagai bahan utama, material lain seperti manik-manik, rantai, kait, dan pengait harus diimpor dari China. Keduanya telah berusaha mencari pemasok lokal, tetapi produk serupa tidak tersedia di AS.
Tekanan serupa juga dirasakan oleh The Mitchell Group, perusahaan tekstil keluarga yang dikelola generasi kedua di Niles, Illinois.
Menurut Ann Brunett, Chief Operating Officer Mitchell Group, tarif yang tinggi memperparah arus kas perusahaan. Mereka harus membayar tarif 45 persen ditambah bea masuk untuk produk yang sering kali harus disimpan di gudang hingga distributor membutuhkannya.
Dengan 18 karyawan penuh waktu dan 12 perwakilan penjualan, Mitchell Group membukukan pendapatan hampir US$10 juta atau Rp168,2 miliar per tahun.
Presiden perusahaan, Bill Fisch, menuturkan pihaknya telah mencoba mencari alternatif produksi di Vietnam, India, Malaysia, bahkan Eropa, tetapi tetap tidak menemukan infrastruktur sebanding dengan China.
Pepsi, Procter & Gamble (P&G), Chipotle, American Airlines dan perusahaan besar lainnya di Amerika Serikat (AS) mulai teriak dampak kebijakan tarif Presiden Donald Trump terhadap bisnis mereka.
Perusahaan-perusahaan besar di AS membunyikan alarm bahaya tentang tarif Trump, dengan menyebut kebijakan perdagangan AS yang tidak menentu menyebabkan konsumen mengurangi pembelian burito hingga tiket pesawat.
Sikap konsumen mengerem belanja ini akan meningkatkan biaya bagi bisnis, serta membuat perencanaan investasi di masa mendatang menjadi mustahil.
Keputusan kebijakan yang tidak menentu ini, bersama dengan perlambatan daya beli, telah menjadi mimpi buruk bagi perusahaan-perusahaan besar di AS. Mereka pun mulai menyinggung dampak tarif saat melaporkan kinerja keuangan kuartalan belakangan ini.
Dalam pernyataan publik perdana mereka soal tarif meski tidak terang-benderang menunjuk hidung Trump, masing-masing perusahaan mengisyaratkan bahwa pajak impor merugikan konsumen dan ekonomi AS. Pepsi pun menurunkan prospek laba setahun penuhnya.
Chipotle melaporkan penurunan pertama dalam penjualan kuartalan di toko-toko yang telah buka setidaknya selama satu tahun sejak pandemi Covid-19. Jaringan restoran cepat saji raksasa AS ini mengatakan tarif akan menaikkan biaya bahan-bahan impor, seperti daging sapi dari Australia hingga alpukat dari Peru.
P&G yang merupakan produsen barang rumah tangga besar AS juga memangkas panduan penjualannya untuk tahun ini, seraya mengatakan tarif kemungkinan akan menyebabkan harga sabun cuci, sampo hingga pewangi buatan mereka naik.
“Tarif pada dasarnya bersifat inflasi,” kata CEO P&G Jon Moeller dalam sebuah wawancara di CNBC. Ia mengatakan harga produk-produk P&G kemungkinan akan naik mulai Juli. Perusahaan juga akan berupaya mengubah beberapa formula produknya untuk mengimbangi dampak tarif.
Sementara itu, American Airlines mengatakan konsumen berpenghasilan rendah akan menunda perjalanan dengan pesawat. Mereka juga mengumumkan akan membebankan biaya pesawat baru kepada konsumen.
Wakil ketua American Airlines Steve Johnson mengatakan kepada analis bahwa warga AS, khususnya yang berpenghasilan rendah akan mengurangi perjalanan dengan pesawat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani merespons ancaman China terhadap negara yang melakukan negosiasi tarif dengan Amerika Serikat (AS).
Ia menyebut sudah melakukan pertemuan bilateral dengan Menteri Keuangan China Lan Fo’an di sela-sela lawatannya ke Amerika terkait ancaman itu. Sri Mulyani menegaskan komitmen Indonesia untuk terus mempererat hubungan dengan Tiongkok.
Meski akan memperkuat hubungan dengan China, sang Bendahara Negara menyebut AS juga merayu Indonesia. Wanita yang akrab disapa Ani itu mengklaim Amerika tetap ingin meningkatkan hubungan erat bersama Indonesia.
Ani menegaskan Indonesia berstatus sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara (ASEAN). Oleh karena itu, Indonesia tetap bakal menjaga hubungan baik dengan kedua negara ekonomi terbesar dunia itu.
Di lain sisi, Menkeu Sri Mulyani mengutip pernyataan Pemerintah AS yang mengobarkan perang tarif. Ia mengatakan AS mengaku sebenarnya tak ingin menciptakan krisis global.
Terlepas dari itu, China memang sempat mengecam dan mengancam sejumlah negara yang melakukan negosiasi terhadap tarif impor yang diumumkan Presiden AS Donald Trump.
Beijing menyatakan bakal membalas negara yang melakukan negosiasi dengan AS. Upaya diskusi dengan Negeri Paman Sam diklaim mengorbankan mereka.
China menjadi negara yang melawan keras aksi Trump dengan menetapkan tarif balasan. Imbasnya, Tiongkok dipukul dengan tarif impor yang sangat tinggi oleh AS, yakni mencapai 245 persen.
Sedangkan Indonesia dibebankan tarif resiprokal sebesar 32 persen. Namun, Indonesia memilih jalur negosiasi yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam masa penundaan tarif selama 90 hari sejak 9 April 2025.
Penggunaan sistem pembayaran domestik Indonesia seperti Quick Response Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) mendapat sorotan dari pemerintah Amerika Serikat (AS). Kebijakan itu dinilai membatasi ruang gerak perusahaan asing.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Indonesia terbuka terhadap kerja sama sistem pembayaran digital termasuk untuk operator luar negeri, seperti Visa dan Mastercard. Dalam hal ini tidak ada perubahan perlakuan terhadap operator asing dalam ekosistem sistem pembayaran nasional.
“Terkait dengan QRIS atau GPN, Indonesia sebetulnya terbuka untuk para operator luar negeri termasuk Master atau Visa,” kata Airlangga.
Sebelumnya, AS melalui dokumen National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025 menyebutkan beberapa keberatan atas kebijakan Bank Indonesia terkait GPN dan QRIS. Dokumen ini diterbitkan Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) tidak jauh dari Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor resiprokal.
Salah satu yang disorot adalah tentang penggunaan GPN. Peraturan BI No. 19/8/PBI/2017 Tahun 2017 mewajibkan semua transaksi debit dan kredit ritel domestik diproses melalui lembaga switching GPN yang berlokasi di Indonesia dan memiliki izin dari BI.
Peraturan tersebut memberlakukan pembatasan kepemilikan asing sebesar 20% pada perusahaan yang ingin memperoleh izin switching untuk berpartisipasi dalam GPN, yang melarang penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi kartu debit dan kredit ritel domestik.
Ada juga Peraturan BI No. 19/10/PADG/2017 mengamanatkan perusahaan asing membentuk perjanjian kemitraan dengan switch GPN Indonesia yang memiliki izin untuk memproses transaksi ritel domestik melalui GPN, di mana ada syarat mendukung pengembangan industri dalam negeri serta transfer teknologi.
Kemudian pada Mei 2023, BI mengamanatkan agar kartu kredit pemerintah diproses melalui GPN dan mewajibkan penggunaan dan penerbitan kartu kredit pemerintah daerah. “Perusahaan pembayaran AS khawatir kebijakan baru tersebut akan membatasi akses penggunaan opsi pembayaran elektronik AS,” ujar USTR.
Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) menerbitkan laporan bertajuk National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025 pada Senin, 31 Maret 2025. Dalam laporannya tersebut, USTR mencatat hambatan perdagangan di Indonesia yang dipermasalahkan AS, salah satunya mengenai layanan pembayaran digital Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS).
USTR menyebut lembaga perbankan dan penyedia layanan pembayaran AS tidak dilibatkan oleh Bank Indonesia (BI) ketika membuat kebijakan terkait QRIS. “Stakeholder internasional tidak diberitahu potensi perubahan akibat kebijakan ini dan tidak diberi kesempatan untuk memberi pandangan terhadap sistem pembayaran tersebut,” kata USTR dalam laporannya.
Situs resmi BI menyebutkan QRIS adalah standar kode respons cepat (QR code) nasional ditetapkan dan dirilis bertepatan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-74 RI pada Sabtu, 17 Agustus 2019. Tujuan peluncurannya adalah agar proses transaksi pembayaran secara domestik dapat lebih mudah, cepat, dan terjaga keamanannya.
Pemberlakuan QRIS di Indonesia diatur melalui Peraturan Anggota Dewan Gubernur BI Nomor 21/18/PADG/2019 tentang Implementasi Standar Nasional Quick Response Code untuk Pembayaran.
Semua kode QR dari penyedia pembayaran elektronik yang ada telah bermigrasi menggunakan QRIS secara bertahap hingga Selasa, 31 Desember 2019. Mulai Rabu, 1 Januari 2020, semua gerai diwajibkan menggunakan kode QR yang berlogo QRIS.
BI berkolaborasi bersama Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) dalam menyusun QRIS sesuai dengan standar Europay, Mastercard, dan Visa (EMVCo). EMVCo sendiri merupakan lembaga yang mengelola dan menetapkan ketentuan internasional terhadap kode QR.
Pada tahap awal, QRIS berfokus pada implementasi pembayaran kode QR mode merchant presented mode (MPM), di mana penjual akan menunjukkan kode QR yang harus dipindai (scan) oleh pembeli ketika membayar. Adapun sebelum diluncurkan, QRIS telah melalui dua kali uji coba, yaitu pada September hingga November 2018 dan April hingga Mei 2018.
RIS mengusung semangat UNGGUL, yaitu UNiversal, GampanG, Untung, dan Langsung. Inovasi dalam dunia pembayaran digital tersebut dinilai dapat mendorong efisiensi; kemajuan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); percepatan inklusi keuangan; serta pertumbuhan ekonomi bagi sumber daya manusia (SDM) unggul Indonesia maju.
Karakter UNGGUL yang diperkenalkan QRIS mempunyai sejumlah makna, meliputi:
• UNiversal, artinya inklusif bagi seluruh kalangan masyarakat dan dapat digunakan untuk transaksi pembayaran, baik di dalam maupun luar negeri.
• GampanG, artinya menawarkan kemudahan tanpa mengorbankan keamanan dalam satu genggaman melalui ponsel pintar (smartphone).
• Untung, artinya dampak positif yang dapat langsung dirasakan oleh penjual dan pembeli, lantaran memberikan kepraktisan.
• Langsung, artinya transaksi dapat dilakukan dengan cepat dan lancar.
Pada tahap awal, BI bekerja sama dengan empat bank sentral untuk mengimplementasikan QRIS di sejumlah negara di Asia Tenggara. Keempat bank sentral tersebut meliputi Bank Negara Malaysia (BNM), Monetary Authority of Singapore (MAS), Bangko Sentral ng Pilipinas (BSP), dan Bank of Thailand (BOT).
Pada Jumat, 17 November 2023, QRIS mulai bisa digunakan di Singapura, menyusul Thailand, Filipina, dan Malaysia. Lalu pada April 2024, Laos dan Brunei Darussalam juga menerima kesepakatan untuk menggunakan kode QR standar Indonesia tersebut.
Selain itu, BI telah menandatangani nota kerja sama dengan Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI) Jepang agar QRIS dapat digunakan di Negeri Sakura. Kerja sama tersebut melibatkan QRIS dengan Japan Unified QR Code (JPQR).