Foto: Ilustrasi, sumber foto: News Unair
Oleh : Ardhan
Stramed, Tanggal 10 Oktober 2019 kemarin diperingati sebagai Hari Kesehatan Mental Dunia yang dicanangkan oleh WHO, Badan Kesehatan Dunia PBB. Tahun ini, WHO mengajak kita semua untuk turut berkontribusi terhadap masalah kesehatan mental atau kesehatan jiwa melalui challenge bertajuk “40 Second of Action”.
Dikutip dari laman resmi WHO, setiap orang bisa berperan dan berkontribusi mencegah terjadinya kasus bunuh diri yang berdasarkan data mereka terjadi setiap 40 detik sekali di seluruh dunia. Banyak studi menunjukkan bahwa perilaku kecemasan di tempat kerja adalah puncak dari overload pekerjaan di lingkungan kerja. Masih di bulan yang Oktober, sama publik terkaget untuk kesekian kalinya terjadi self-suicide yang dilakukan milenial yaitu personel girls band Korea Selatan, Sulli, yang diduga mengidap kecemasan dan depresi.
Generasi milenial adalah generasi awal 1980-an sebagai awal kelahiran dan pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an. Mereka akan mengambil peran serta yang signifikan dengan memasuki usia produktif baik di perusahaan maupun pemerintahan melalui jalur fresh graduated, entry level dan juga experience.
Generasi ini akan menduduki posisi sebagai karyawan ujung tombak dari perusahaan.
Generasi milenial merupakan generasi yang individual, open minded, melek teknologi, menyukai tantangan dan menuntut keterbukaan, Namun bukan tidak mungkin mereka mengalami gangguan keehatan mental saat memasuki area pekerjaan karena saat ini hampir seluruh posisi eksekutif di beberapa perusahaan di Indonesia secara dominan masih di duduki generasi baby boomer dengan karakter yang berbeda dengan generasi milenial yaitu lebih menekankan kebersamaan kelompok, birokrasi dan proses yang menuntut untuk dihormati. Generasi baby boomer merupakan generasi orang tua dari generasi milenial.
Hal ini akan menjadi suatu hambatan atau bahkan konflik jika nanti akan berhadapan dengan generasi milenial. Generasi muda ini lah nanti yang lebih rentan dan untuk mengalami rasa cemas serta kalah jika nanti akan menghadapi konflik dengan atasan mereka.
Hal ini akan mengakibatkan munculnya gejala kesehatan mental di milenial yang dimulai dengan rasa cemas dan tidak percaya diri.
Dunia bisnis saat ini dituntut agar lebih peka dan peduli tentang gejala kesehatan mental di tempat kerja dan bagaimana menanganinya. Perusahaan di luar negeri telah melakukan hal demikian, untuk perusahaan di Indonesia juga telah melakukan hal yang sama namun beberapa karyawan menginginkan partisipasi lebih intens dan serius mengingat semakin meningkatnya gejala kesehatan mental yang muncul pada karyawan yang tentu saja mayoritas adalah generasi milenial.
Riset yang dilakukan oleh Jennifer DaSilva, Direktur dari WPP Creative agency Berlin Cameron and Kantar, perusahaan konsultan yang melakukan penelitian, ditemukan bahwa dari 1000 karyawan, 62% responden mengatakan bahwa mereka merasa lebih yakin dan lebih nyaman jika seseorang yang memiliki peranan sebagai pimpinan perusahaan membicarakan kesehatan mental dan peduli dengan topik tersebut. Riset juga menunjukkan bahwa hanya sebesar 26% yang merasa bahwa tindakan mengatasi permasalahan kesehatan mental telah diterapkan di tempat kerja.
Seorang pimpinan perusahaan juga harus memberikan bukti bahwa penanganan dan pencegahan kesehatan mental di tempat kerja dapat terlaksana. Meskipun terkadang pimpinan perusahaan sudah diarah yang tepat dalam menangani hal ini namun permasalahan kesehatan mental bukanlah permasalahan komunal yang ditangani secara kelompok karena setiap individu memerlukan treatment yang berbeda. Sesuai dengan karakteristik yang dimiliki.
Masih dengan hasil riset yang sama, 57% responden yakin bahwa untuk mengurangi stigma kesehatan mental, harus dilakukan diskusi secara terbuka. Misalkan, diselenggarakan forum secara komunal berupa seminar kemudian selanjutnya dapat dilakukan sesi secara privat sesuai dengan detil permasalahan tiap individu.
Beberapa perusahaan di Indonesia seharusnya tidak hanya komitmen terhadap kesehatan fisik saja yang memang sudah dilakukan lewat beberapa program kesehatan karyawan seperti jalan, sehat, fasilitas gym, bersepeda dan lain-lain.
Dan hal yang terjadi sungguh mengejutkan, menurut salah satu jurnal yang dirilis di Amerika Serikat biaya dari penanganan kesehatan mental menduduki posisi nomer satu paling besar dari biaya pengobatan fisik lainnya yaitu lebih dari $200 milyar per tahun mengungguli biaya dari penyakit jantung, stroke dan obesitas.
Karyawan yang ada saat ini mayoritas adalah generasi milenial, mereka menginginkan untuk mengakhiri diskriminasi, SARA, gosip di lingkungan kerja dan perilaku bullying yang mengakibatkan perilaku penyebab penyakit mental di lingkungan kerja.
Tentu saja, hal ini bukanlah hal yang mudah untuk ditangani di lingkungan kerja. Perlu upaya serius dari leadership management untuk secara serius menangani dan mengkampanyekan tindakan pencegahan di tempat kerja.
Untuk karyawan yang sedang mengalami mental illness perlu dilakukan pendampingan yang berasal dari perusahaan. Proses healing dari pegawai yang mengalami mental illness dapat dilakukan secara privat baik menggunakan tenaga ahli atau perwakilan HR. Dibutuhkan adanya pendampingan dan konsultasi dengan batas-batas tertentu dengan tetap menjaga privasi karyawan untuk mengurangi permasalahan tersebut. Pimpinan perusahaan harus menetapkan batasan dan SOP yang digunakan agar proses penanganan ini dapat berlaku efektif.
Solusi umum yang sering dilakukan untuk membuat lingkungan yang lebih aman adalah bahwa pimpinan perusahaan mengakui jika ada permasalahan, menjadi terbuka, memahami dan mencurahkan komitmen untuk mengalokasikan sumber daya menyelesaikan permasalahan terkait kesehatan mental di tempat kerja. Kesehatan mental bagi karyawan sangat penting perannya bagi perusahaan, salah satu bentuk gangguan dari kesehatan mental yang paling umum adalah kecemasan. Kecemasan merupakan nature killer dari sifat ramah dan ingin tahu.
Bisa dibayangkan jika karyawan di perusahaan mengalami kecemasan maka akan berakibat terganggunya alur produksi, ide, inovasi, kreatifitas dari perusahaan sehingga mengganggu target dan juga kemajuan perusahaan.
Jadi bisa kita simpulkan bahwa kesehatan mental bagi karyawan yang terutama generasi milenial sangat dibutuhkan sebagai motor penggerak perusahaan. Maka dari itu pentingnya partisipasi dan komitmen pimpinan perusahaan mengatasi kesehatan mental di tempat kerja sangat dibutuhkan.
*) Pemerhati sosial
Disclaimer: Setiap opini di media ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.