Foto: BSSN, sumber foto: BSSN.go.id
Stramed, Di era industri 4.0 dan intelijen 3.0 maka perkembangan cyber physical telah menimbulkan permasalahan strategis sendiri. Ekonomi dan ketahanan nasional sebuah bangsa akan menjadi taruhannya jika kurang berhasil menangkal cyber attacks, cybercrime dan cyberwar.
Demikian dikemukakan pemerhati kajian strategis, Ann Davos di Jakarta seraya menambahkan, RUU Badan Sandi dan Siber Nasional atau RUU BSSN tetap diperlukan namun jangan menyasar atau mengambil alih wewenang institusi negara lainnya yang sudah eksis sejak lama dibandingkan BSSN.
Menurut An Davos, hal-hal yang perlu diperhatikan terkait RUU BSSN antara lain bagaimana pemetaan BSSN terkait cyber threat dan apakah sistem persandian saat ini sudah lemah sehingga mudah diterobos.
“Soal lisensi atau perizinan pengadaan alat alat cyber jelas tidak bisa dikuasai sepenuhnya oleh BSSN karena setiap instansi memiliki tugas pokok masing masing dan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, mereka dilindungi UU atau Perpres, ” ujarnya seraya mengingatkan masalah memegang kuasa lisensi alat alat siber jangan dijadikan “motif utama” perumusan RUU BSSN.
Disamping itu, jelas Ann Davos, suprastruktur dan infrastruktur BSSN kurang mencukupi jika “ingin sendirian” mengatasi ancaman siber ke depan.
“Ancaman siber ke depan bisa menggunakan aspek geospasial, aspek perkembangan virus komputer dan bahkan menggunakan sistem satelit,” urainya seraya mengingatkan, jika sistem satelit dan geospasial tidak bisa diamankan oleh BSSN, maka jebolnya ancaman siber akan terus terjadi.
“Itu lebih penting dibahas dalam RUU BSSN termasuk bagaimana BSSN bekerjasama dengan BIN menangkal cryptocurrency, bots, dark web, illegal financial technology yang bisa dikuasai teroris atau sabotir ekonomi dan lain lain, termasuk mempersiapkan big data dan artificial intelligence mengatasi cyberwar dan lain-lain, ” sarannya.
Sementara itu, alumnus Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia, Stanislaus Riyanta mengatakan, masalah infrastruktur ini yang bahaya karena rawan kepentingan termasuk “penyadapan dalam alat penyadapan”, lebih baik kalau kerja sama alat-alat BSSN lewat G to G bukan B to G.
Sedangkan praktisi hukum Airla menyarankan, dalam RUU BSSN perlu diatur juga SDM yang memgawakinya, juga hrs diperhatikan agar mereka siap perang siber bukan sekedar membuat dan mengonter buzzer, sehingga perlu direkruit hacker-hacker secara tertutup oleh unit tersendiri (Red).