
KN, Saat ini, kita menyaksikan pergeseran penting dalam geopolitik dan ekonomi internasional. Beberapa dekade terakhir, peran BRICS (Brazil, Russia, India, China, dan South Africa) semakin kuat, baik di bidang ekonomi maupun politik global. Organisasi ini bahkan mulai menantang dominasi ekonomi Amerika Serikat, khususnya mata uang dolar, dan telah menginisiasi bank yang tidak bergantung pada Amerika maupun Eropa. Cina, sebagai anggota utama BRICS, telah menunjukkan kemajuan pesat dan menjadi kekuatan ekonomi yang dominan, terutama dengan pasar yang sangat luas berkat populasi besar yang dimilikinya, demikian dikatakan oleh Prof. Didik J. Rachbini dalam diskusi yang bertajuk BRICS vs OECD: Indonesia Pilih yang Mana?” yang diselenggarakan oleh Universitas Paramadina, melalui Zoom, Rabu (30/10/2024).
Saya sangat berharap perguruan tinggi dapat terus mengembangkan program S3 dalam bidang ekonomi dan bisnis internasional. Ini akan memperkuat peran kita dalam diplomasi internasional. Kita sudah memiliki program S2 yang baik, tetapi akan lebih bermanfaat jika kita melengkapi pendidikan ini dengan program doktoral agar para lulusan dapat memiliki dampak lebih luas, termasuk dalam konteks diplomasi ekonomi, ujar Didik.
Wijayanto Samiri menyampaikan, dominasi ekonomi AS, termasuk peran Dolar sebagai mata uang global, bukanlah hasil yang didapatkan dengan mudah. Sejarahnya panjang, dari akhir Perang Dunia II hingga sekarang, dan didorong oleh keputusan penting seperti kesepakatan di Bretton Woods pada 1944, yang menetapkan Dolar sebagai mata uang global dan mendirikan Bank Dunia serta IMF, keduanya berbasis di Washington D.C.,Saat ini, Dolar memegang peran dominan dengan 88% transaksi Forex dan 59% cadangan devisa dunia. Meski demikian, dominasi ini tak terlepas dari kebijakan fiskal AS yang defisit besar. Defisit anggaran AS tahun ini mencapai 7% dari PDB. Utang pemerintah pun naik, mencapai 124% dari PDB, mengkhawatirkan negara-negara lain yang memegang aset dalam Dolar AS. Ketergantungan AS pada utang semakin meningkatkan risiko ekonomi global.Dengan situasi ini, kini ada 80 negara yang mulai menggunakan mata uang lokal dalam perdagangan internasional. Ini adalah awal dari perubahan, atau “wind of change,” yang juga terlihat pada upaya negara-negara mencari alternatif selain Dolar AS.
Indonesia dapat memanfaatkan perubahan ini dengan tiga tujuan utama: memperluas pasar ekspor, menarik investasi berkualitas, dan menstabilkan Rupiah.Pilihan strategis Indonesia adalah mempertimbangkan bergabung dengan BRICS atau OECD. Jika kita melihat BRICS, kelompok ini memiliki populasi yang besar, pertumbuhan GDP yang cepat, dan mempromosikan kerjasama ekonomi yang lebih egaliter. Di sisi lain, OECD memiliki jaringan negara maju dengan transfer teknologi yang lebih tinggi, namun akses ke OECD lebih panjang dan rumit dibandingkan BRICS. Bergabung dengan BRICS bisa membantu mengurangi ketergantungan pada Dolar AS karena mereka mendukung penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan, jelas Wijayanto.
Pilihan terbaik bagi Indonesia adalah mempertimbangkan bergabung dengan keduanya, baik BRICS maupun OECD. Strategi ini mirip dengan pendekatan Thailand yang sudah menjadi anggota OECD tetapi juga menjalin hubungan dengan BRICS. Opsi kedua adalah memilih salah satu yang lebih menguntungkan dan memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain aktif dalam organisasi tersebut.Pilihan yang paling tidak ideal adalah tidak bertindak apa-apa atau ‘do nothing’, yang selama 10 tahun terakhir menjadi pendekatan kita. Jika kita mempertahankan posisi ini, kita berisiko kehilangan peluang, terlambat bergabung, dan akhirnya memiliki peran yang kurang optimal dalam dua platform penting ini, papar Wijayanto Samiri.
Sedangkan, Ahmad Khoirul Umam, PhD menyampaikan bahwa pertimbangan strategis Indonesia antara bergabung dalam BRICS atau OECD terkait posisi ekonominya dalam dunia global. bergabung dengan BRICS akan memberikan keuntungan tertentu bagi Indonesia, seperti akses pasar yang lebih luas dan kemitraan yang lebih fleksibel dibandingkan OECD yang sering kali didominasi negara-negara Barat. BRICS juga membuka peluang untuk menyeimbangkan pengaruh Amerika Serikat, terutama dengan rencana pengurangan ketergantungan pada dolar melalui mata uang alternatif. Namun, ini berisiko meningkatkan ketergantungan Indonesia pada China, yang saat ini sudah dominan dalam sektor perdagangan dan investasi di Indonesia.
Sebaliknya, bergabung dengan OECD juga menawarkan kesempatan bagi Indonesia untuk beradaptasi dengan standar ekonomi dan governance yang lebih ketat. OECD sering dianggap sebagai standar internasional dalam praktik ekonomi yang transparan dan berkelanjutan. Keterlibatan dalam OECD dapat mendukung pembangunan jangka panjang Indonesia, terutama dalam mencapai kredibilitas yang lebih tinggi di pasar global, meski bisa menantang bagi Indonesia yang tengah menjaga sikap bebas-aktif dalam politik luar negeri, terang Ahmad.
Menurut Fajar Anandi, Indonesia, yang sering disebut sebagai middle power, telah memainkan peran penting di ASEAN, Organisasi Kerjasama Islam (OKI), dan G20, serta sering kali berfungsi sebagai bridge builder dalam diplomasi global. Narasumber menggunakan analogi untuk menunjukkan bagaimana Indonesia perlu mempertimbangkan kapasitas dan pengaruhnya dalam memasuki organisasi internasional, seperti BRICS dan OECD. Dalam konteks middle power, Indonesia diakui karena kekuatan diplomatic influence-nya, terutama sebagai pemimpin di ASEAN dan keterlibatan aktifnya dalam isu-isu global, seperti kemanusiaan dan keamanan.
Keikutsertaan Indonesia dalam BRICS, yang memiliki New Development Bank, dinilai dapat menawarkan sumber alternatif pendanaan yang potensial untuk pembangunan nasional. Sedangkan OECD, yang memiliki standar tinggi dalam kebijakan ekonomi dan reformasi pasar, mungkin menghadirkan tantangan bagi Indonesia terkait penyesuaian pasar domestik dan kebijakan-kebijakan ekonomi tertentu yang masih menjadi perdebatan, seperti dengan Uni Eropa, jelas Fajar.