
KN. Rencana cuti bersama yang digaungkan ribuan hakim di Indonesia mendapat respons dari Mahkamah Agung. Juru Bicara Mahkamah Agung, Suharto, menyatakan pihaknya akan berkoordinasi dengan IKAHI terkait dengan rencana ini. “Nanti Senin saja, saya akan bertemu dengan Ketum IKAHI dulu,” kata Suharto kepada Hukumonline.
Suharto berjanji akan memberi info lebih lanjut jika memang sudah melakukan pertemuan dengan para pengurus Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). “Ya nanti ku info jika sudah temu Ketum IKAHI,” tambahnya.
Hukumonline sudah menghubungi pihak Komisi Yudisial terkait dengan hal ini, namun hingga berita ini diturunkan belum ada respons dari yang bersangkutan, yaitu Mukti Fajar Nur Dewata, dan Binziad Khadafi.
Sementara itu IKAHI sendiri tidak masalah jika ada rencana cuti massal para hakim. Sebab hal itu merupakan aspirasi para hakim, dan para hakim juga memang mempunyai hak untuk mengajukan cuti.
“IKAHI tidak melarang karena itu memang aspirasi murni, apalagi menggunakan hak cuti. Silakan pada pimpinan pengadilan masing-masing untuk persoalan cutinya, kewenangan pimpinan mereka,” kata Ketua Umum IKAHI Yasardin yang juga Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia ini kepada Hukumonline.
Informasi aksi Gerakan Cuti Bersama Hakim se-Indonesia beredar dalam rilis pers atas nama Solidaritas Hakim Indonesia. Tertera nama tiga orang sebagai kontak informasi juru bicara yaitu Fauzan Arrasyid, Aulia Ali Reza, dan Isna Latifa.
Dalam press rilis kedua yang diterima Hukumonline dan telah dikonfirmasi kepada Fauzan Arrasyid dan Aulia Ali Reza, setidaknya ada lima poin yang diungkapkan pihak yang menamakan diri Solidaritas Hakim Indonesia.
Pertama, aksi cuti bersama ini merupakan langkah terakhir hakim Indonesia dan tidak diambil dengan tergesa. Sejak tahun 2019, para hakim melalui organisasi profesi yakni Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) telah berjuang mendorong perubahan PP No. 94 Tahun 2012. Bahkan, berbagai upaya resmi dan formal telah ditempuh dengan harapan agar pemerintah memberikan perhatian serius dan langkah nyata terhadap tuntutan tersebut.
Kedua, ada empat isu krusial yang diperjuangkan. Keempatnya antara lain mengenai pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung Nomor 23P/HUM/2018 terhadap PP No. 94 Tahun 2012; pengesahan RUU Jabatan Hakim; peraturan perlindungan jaminan keamanan bagi hakim dan pengesahan RUU Contempt of Court.
Ketiga, adanya dukungan luar bisa dari hakim dan elemen masyarakat yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh pemerintah. Keempat, jumlah partisipan dalam Gerakan Cuti Bersama Hakim se-Indonesia pada 7—11 Oktober 2024 mendatang terus bertambah. Hingga 27 September 2024 pukul 22.00 WIB sebanyak 1326 hakim telah bergabung dalam gerakan ini.
Kelima, ada tiga skema aksi cuti bersama antara lain, hakim yang mengambil cuti lalu berangkat ke Jakarta untuk bergabung dalam barisan hakim yang melakukan aksi solidaritas. Berikutnya hakim yang mengambil cuti dan berdiam diri di rumah sebagai bentuk dukungan kepada rekan-rekannya yang berjuang di Jakarta. Terakhir, bagi hakim yang hak cuti tahunannya sudah habis akan didorong untuk mengosongkan jadwal sidang selama tanggal 7 hingga 11 Oktober 2024, namun tetap menjaga hak-hak masyarakat pencari keadilan tidak dirugikan.
Rencana mogok massal para hakim se-Indonesia menuai kritik. Sekretaris Bidang Advokasi Hakim PP Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Djuyamto berpendapat, tuntutan kenaikan gaji pokok bagi para hakim, mestinya dapat direspons secara bijaksana.
“Tuntutan kesejahteraan hakim yang disebut dengan cara cuti bersama, adalah salah satu bentuk aspirasi para hakim yang perlu direspon secara arif bijaksana,” ucap Djuyamto kepada Inilah.com saat dihubungi di Jakarta.
Ia menyebut sejak 2012-2024 belum pernah ada kenaikan atau penyesuaian besaran gaji maupun tunjangan untuk para hakim, sehingga Djuyamto menilai perlu untuk mengingatkan pemerintah untuk memberikan kenaikan atau penyesuaian.
“Sebenarnya tuntutan kesejahteraan dari para hakim ini, justru bertolak dari ketentuan pasal 48 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman bahwa Negara menjamin kesejahteraan dan keamanan hakim untuk menjaga independensi kekuasaan kehakiman, tapi kalau selama 12 tahun tidak ada kenaikan atau penyesuaian tentu jaminan kesejahteraan itu perlu ditanyakan,” katanya.
Ia menyebut akan tetap memperjuangkan tuntutan ini meski mendapat penolakan nantinya dari berbagai pihak. “IKAHI tetap akan memperjuangkan, tentu melalui mekanisme dan ketentuan UU yang berlaku,” ucap dia tegas.
Sebelumnya, ribuan hakim se-Indonesia berencana melakukan mogok kerja pada 7 Oktober hingga 11 Oktober 2024 mendatang. Aksi mogok yang dibalut cuti bersama itu dilakukan sebagai bentuk protes ke pemerintah yang dianggap belum memprioritaskan kesejahteraan hakim.
Cara ini dianggap pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar kurang elok. Ia mengingatkan, hakim merupakan pekerjaan terhormat, karenanya wibawa hakim harus terjaga,
Rencana mogok kerja ini, dinilai akan menggerus wibawa hakim di mata pubilk. “Padahal hakim itu di pengadilan dipanggil yang mulia,” kata Abdul Fickar, dikutip Antara.
Ia menilai hakim seharusnya bisa menempuh cara lebih terhormat seperti membuka forum dialog dengan pemerintah eksekutif dalam memperjuangkan kenaikan gaji dibandingkan dengan mogok kerja selama berhari-hari. “Harusnya pakai forum yang lebih terhormat untuk adu argumen. Harus duduk bersama-sama,” ucapnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Andalas (Unand) Yoserwan. Menurutnya, cara penyaluran aspirasi lewat ancaman mogok massal kurang pas. Ia juga mengingatkan, peningkatan kesejahteraan hakim seharusnya diimbangi dengan integritas dan kapabilitas. Jangan cuma menuntut bisa hak, tapi saat menjalankan kewajiban malah asal-asalan.