Oleh George Saa
Jayakartapos, Sedikit menambahkan sekaligus coba membandingkan. Bicara kapitalisme ini kita bisa ukur berapa banyak negara di dunia ini yang mengadopsi kapitalisme dan tidak dapat survive bila tidak ada aliran kapital dalam bentuk investasi yang dongkrak ekonomi suatu negara? Sa pikir banyak negara yang ikut menjalankan sistim kapitalis yang dalam formatnya saya kira bisa mengadopsi ekonomi lokal di tataran paling bawah.
Menyalahkan sistim kapitalis dan mendorong papua atau indonesia sebagai suatu obyek untuk di lakukannya eksperimen untuk mendorong terbentuknya sistem baru yang lebih akomodatif ini bukan hal mudah namun memang tidak impossible. Kembali ke Papua, saya lihat kita terapkan OTSUS dengan segala kebijakan afirmasi ini tidak bedanya kalau di analisa dana konteks positive discrimination. Bisa lihat debat tentang ini disini https://www.youtube.com/watch?v=rM7v94IlHJI&t=73s.
Guna melahirkan lahirnya generasi dengan figur yang dapat leluasa berenang melawan arus commonality or business as usual itu memang perlu ada namun sistim yang sudah ada ini secara tidak langsung dari jaman orang-orang yang menuliskan sistim ini secara detil, Adam Smith, misalnya, mesti di telaah lebih seksama. Kita boleh bereksperimen namun variable yang di uji ini kita perlu tahu dapat di lakukan secara direct atau indirect karena persoalan analisa ini memerlukan sumber data yang rinci dan lebar.
Di Papua ini kita bicara arus masuk kapital dalam bentuk investasi itu memang sudah jalan dan jangan di pungkiri kondisi ini telah menyusun eksistensi negara kita ini. Institusi atau alat negara yang di “sangka” mengamankan dan lain-lain bagi saya yang pernah kerja di institusi yang mendatangkan kapital (e.g. BP di Bintuni) ini melihat security itu sebagai suatu fondasi keberlangsungan institusi ini. Jadi, praktik kemanan/pengamanan itu bagian yang lekat dengan suatu bisnis ini normalitas dimana-mana namun memang bisa di manage dengan model yang lebih adaptif seperti ICBS (Integrated Community Based Security) seperti BP terapkan.
Bagi saya kita bicara ekonomi itu kita bicara pasar dan akses pasar. Yang saya ingin tanyakan sebenarnya kewenangan negara yang dijalankan atau di representasikan pemimpin/elit di tanah Papua, APAKAH MEMANG MEREKA BUPATI/WALIKOTA/GUBENUR ini adalah kaum LEMAH yang tidak “KUASA” atau lemah untuk menghadirkan pelayanan dasar untuk orang Papua? Ini menurut saya kita hanya berkelit dan bersembunyi serta menipu diri sendiri bahwa kami ini lemah untuk hadirkan pelayanan dasar. Gubernur tidak lemah, Bupati tidak lemah, Walikota tidak lemah.
Yang lemah itu pengetahuan mereka untuk berenang ditengah-tengah ranjauh air untuk bisa melihat kepentingan dasar orang Papua. Yang terjadi kita lihat kepentingan siapa yang mereka jalankan kalau bukan kelompok (suku, klan, alumni, tim sukses etc).
Mereka ini wakil negara di tanah Papua. Bagi saya semua ini kembali ke ketulusan hati dan karakter dan kepemimpinan elit Papua yang hari ini seharusnya bicara bahwa OTSUS itu tidak gagal tapi merekalah yang gagal. We are the source of failure. Harus ada pengakuan ini. Sayangnya sampai detik ini belum ada yang bicara.
Sekarang polarisasi yang terjadi di setiap level orang Papua makin tidak terkontrol. Okelah memang tidak perlu di kontrol dan biarlah berdinamika terus.
Apakah polarisasi ini tidak bisa di bendung agar kita tidak hidup dalam situasi chaos yang mana kita tahu paham muara dari segala aspek yang di suarakan. Siapa menggerakan siapa dan untuk siapa dan apa ini perlu di sadari orang Papua.
Juga apakah polarsisasi ini akan secepatnya atau lambat laun membuat orang Papua kita semua yang hari ini batariak tolak OTSUS ini sebenarnya menguntungkan siap?
Bagi saya, justru kitong ini tolak OTSUS itu sama saja tong menyelamatkan wajah para elit pemimpin/politik di tanah ini yang seharusnya kita fokus minta pertanggung jawabannya mereka. Kita arahkan semua persoalan hari ini ke Jakarta… ke negara… lalu kita sendiri orang Papua hari ini sapa yang ada berdiri untuk koreksi elit politik yg atur uang dan yang punya kuasa di tanah ini namun mereka seenaknya saja jalankan itu barang sesuai suka, tiba saat tiba akal bahkan senang pujian yang kosong.
KITA MUSTI KOREKSI KITA. KITA CARI TAHU APA PERAN KITA DI GAGALNYA MENGHADIRKAN PELAYANAN DASAR DI TANAH INI BARU KITA LIHAT JAKARTA. KITA SUDAH BERSATU KAH? ATAU PERSATUAN KITA INI TERSELEBUNG KEPENTINGAN ELIT KITA SENDIRI. SAYA MAU KATAKAN ORANG YANG HARI INI KITA HARUS TUNTUT PERTANGGUNG JAWABANNYA ADALAH MEREKA-MEREKA DI DPRP, MRP, DPRD tingkat kota/kabupaten, GUBENUR/WAKILNYA, BUPATI/WAKILNYA, WALIKOTA/WAKILNYA, dan semua ASN dalam semua OPD yang bekerja dari awal OTSUS BERGULIR HINGGA SAAT INI. SAYA PIKIR DR. AGUS SUMULE SUDAH KASIH INI WARNING DI 2003. BISA KOREKSI SAYA BP AGUS.
SOLUSI YANG BISA DI DORONG SAAT INI
– Minta Jakarta stop melindung elit orang Papua
– Stop Jakarta ikut bermain dengan elit Papua apalagi ikut “mewajarkan” kelalaian mereka
– Minta Jakarta berikan ruang lebar untuk aparat untuk masuk dan periksa dan bila perlu tangkap semua elit yang terindikasi jalan pake bagi uang seakan uang dong cetak dengan printer sendiri
– Kita minta keterbukaan orang Papua yang selama ini duduk nikmati dan atur OTSUS untuk mengaku dosanya
– Kita minta dana OTSUS itu di pisahkan dari alokasi dana umum/lainnya
– Kita minta lembaga-lembaga independen yang bekerja secara profesional dan potong birokrasi untuk turun dan kerja atasi segala masalah pelayanan dasar di tanah ini.
Sedikit dulu saran ini.
Disclaimer : Artikel ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.