Foto: Ilustrasi, sumber foto: Pendidikan.co.id
Oleh : Amrul Haqq
Stramed, Setelah deretan aksi mahasiswa dan masyarakat di Jakarta dan berbagai daerah atas kemelut kontroversi RUU KPK dan RKUHP hingga memakan korban luka dan jiwa, menjadi sebuah catatan buruk atas kinerja DPR periode 2014-2019 dan bisa dikatakan sebagai su’ul khatimah atau akhir yang buruk. Alih-alih menorehkan prestasi, diakhir masa periodenya, DPR malah menyulut emosi dengan memproduksi RUU yang dinilai tidak relevan dan terkesan ngawur.
Deretan aksi sejak tanggal 19 hingga 30 september ditutup dengan pelantikan pada tanggal 1 oktober 2019, 575 anggota periode 2019-2024 diisi dengan beberapa politisi muka baru dan muka lama yang terpilih kembali.
Hal yang mengejutkan publik adalah terpilihnya Puan Maharani sebagai ketua DPR, hal ini berdasarkan hasil Revisi UU MD3 yang menyebutkan bahwa pimpinan DPR adalah dari partai yang memiliki kursi mayoritas.
Artinya, PDI-P dengan jumlah anggota terpilih sebanyak 128 anggota berhak menempati kursi ketua. Puan yang sebelumnya menjadi Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan ini dinilai publik nir-prestasi dan belum terlihat gebrakannya ketika menjabat sebagai menteri.
Esok harinya, DPR, MPR dan DPD menggelar sidang paripurna untuk memilih pimpinan MPR, 9 fraksi mendukung Bambang Soesatyo untuk maju sebagai Ketua MPR dan 1 fraksi yakni Gerindra mengusung Ahmad Muzani, malam harinya Bamsoet resmi terpilih sebagai Ketua MPR periode 2019-2024.
Bamsoet yang sebelumnya berseteru dengan Airlangga Hartanto dalam perebutan kursi ketua umum partai Golkar tiba-tiba ‘berdamai’ dengan Airlangga pada beberapa hari sebelum pemilihan pimpinan MPR, artinya Airlangga Hartanto melenggang sendiri pada Munas Golkar mendatang.
Ditambah ketua DPD terpilih adalah La Nyalla Matalitti, dengan track record yang ‘bermasalah’ dan orang yang dulu berseteru dengan Jokowi belakangan ini malah banting stir mendukung Jokowi.
Kemelut komposisi pimpinan legislatif dan eksekutif yang dinilai merupakan gejala kemunduran reformasi yang berat sebelah. Oposisi yang minoritas di DPR ditambah belakangan Gerindra sebagai salah satu oposisi dikabarkan meminta 3 jatah kursi kepada presiden.
Lalu bagaimana dengan proses chek and balance sebagai fungsi DPR? Dengan logika sederhana “Orang tua yang bekerja, anak, menantu dan kolega yang mengawasi” bagaimana mungkin tidak akan terjadi kebijakan cincai yang semuanya bermuara pada aneka ragam kepentingan.
Masa Depan Reformasi. Kita sebagai bangsa memang tidak mengharapkan mimpi buruk seperti era Orde Baru, cita-cita reformasi jangan sampai terkubur dengan komposisi pimpinan legislatif dan eksekutif yang gemuk dan tidak diimbangi dengan jumlah oposisi yang menciut.
Hal itu sangat mengkhawatirkan karena ditakutkan akan kemungkinan besar menghasilkan kebijakan hasil deal-deal politik kepentingan. Lantas, apakah benar ada misi besar untuk menjadikan MPR sebagai lembaga tinggi negara ala Orde Baru?
PDIP yang santer mengusulkan amandemen terbatas UUD 1945 untuk menjadikan kembali MPR sebagai lembaga tinggi negara dengan kewenangan membuat Garis Besar Haluan Negara. PDIP mengusulkan amandemen terbatas UUD 1945 untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menetapkan GBHN.
Senada dengan PDIP, Bamsoet yang sebelumnya pernah mengeluarkan statement bahwa alangkah baiknya jika presiden kembali dipilih MPR seperti pemilihan presiden pada 1999 silam. Hal ini ia sampaikan karena menurutnya pemilihan presiden secara langsung akan menimbukan polarisasi dalam masyarakat dan berjalan rumit. Apa tidak sebaiknya Pilpres dikembalikan lagi ke MPR.
Menerima atau tidak, sekarang Bamsoet sudah menjadi ketua MPR, dimana kewenangan amandemen UUD 1945 ada ditangan MPR, pun juga PDIP yang mengusungnya dengan syarat mengamandemen secara terbatas UUD 1945. Ada kejutan apa 5 tahun mendatang untuk masa depan Reformasi Indonesia? Sejarah akan menjawabnya.
*) Pemerhati Indonesia
Disclaimer: Setiap opini di media ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.