
KN.. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menyatakan bahwa MK sebenarnya juga telah melarang wakil menteri untuk merangkap jabatan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Menurut Mahfud, larangan untuk para pembantu Presiden untuk double job ini sudah tertuang jelas dalam Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019, meski larangan untuk wakil menteri tidak tertulis secara literal. “Ada putusan MK begini, di dalam Undang-undang Kementerian ada ketentuan bahwa menteri dilarang menjabat di BUMN tetapi tidak ada penegasan wamen itu boleh enggak merangkap,” kata Mahfud dalam siniar di akun YouTube-nya.
“Menurut MK (larangan Wamen) ini enggak perlu diputuskan dalam sebuah amar karena bagi MK larangan yang melekat pada menteri melekat juga pada wakil menteri,” ucap dia melanjutkan. Mahfud menilai, adanya gugatan baru yang meminta MK untuk meninjau kembali larangan rangkap jabatan hanya mempertegas putusan MK.
Pasalnya, setelah 2019 hanya ada beberapa Wakil Menteri yang merangkap jabatan di BUMN. “Karena itu (rangkap jabatan) semakin banyak nih di pemerintahan baru, kalau dulu kan masih satu atau dua gitu ya Wamen yang jadi (komisaris) sekarang sudah banyak sekali,” ucapnya.
Sebagai informasi, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara digugat ke MK oleh seorang advokat bernama Juhaidy Rizaldy Roringkon, asal Sulawesi Utara. Gugatan dengan nomor perkara 21/PUU-XXIII/2025 ini akan disidangkan perdana pada Selasa (22/4/2025) di MK.
Dalam petitumnya, pemohon meminta agar ada penambahan frasa “wakil menteri” dalam Pasal 23 UU 39/2008 yang berkaitan dengan larangan menteri rangkap jabatan. “Menyatakan frasa ‘Menteri’ sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008, Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4916) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Menteri dan Wakil Menteri’,” tulis gugatan tersebut.
Gugatan ini dilayangkan pemohon karena berpandangan bahwa wakil menteri sama posisinya dengan menteri yang ditunjuk secara langsung oleh presiden. Dalam gugatan, dibeberkan juga enam wakil menteri yang merangkap jabatan sebagai komisaris atau dewan pengawas badan usaha milik negara. Pejabat para wakil menteri itu adalah Kartika Wirjoatmoko sebagai komisaris PT Bank Rakyat Indonesia (BRI), kemudian Aminuddin Maruf sebagai komisaris PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), Dony Oskaria sebagai wakil komisaris utama PT Pertamina (Persero). Tiga lainnya adalah Suahasil Nazara sebagai wakil komisaris PLN, Silmy Karim sebagai komisaris PT Telkom Indonesia, dan Sudaryono sebagai ketua dewan pengawas Perum Bulog.
Anggota Komisi VI DPR RI, Amin AK turut mengomentari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) yang di dalamnya terdapat salah satu poin krusial dalam beleid ini adalah perubahan status direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN yang saat ini tidak lagi dikategorikan sebagai penyelenggara negara.
“Meskipun demikian, tindakan korupsi tetap harus diproses secara hukum, tanpa memandang status pelakunya sebagai penyelenggara negara atau bukan. Status tersebut tidak menghapus pertanggungjawaban hukum bila terjadi penyimpangan keuangan negara dalam kegiatan BUMN,” kata Amin.
Ia menjelaskan, pada Pasal 11 Ayat (1) UU KPK memberi kewenangan kepada KPK untuk menyelidiki, menyidik, dan menuntut tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat hukum, penyelenggara negara, serta pihak lain jika menyangkut kerugian negara minimal Rp1 miliar. Dengan demikian, lanjut Amin, selama terdapat kerugian negara, KPK, Kejaksaan, atau Polri tetap memiliki kewenangan untuk menangani perkara korupsi di lingkungan BUMN.
Oleh karenanya, pelaku korupsi, sambung dia, tetap dapat ditindak oleh aparat penegak hukum. UU BUMN terbaru mengatur secara jelas bahwa keputusan bisnis yang diambil berdasarkan prosedur dan prinsip korporasi tidak dapat dijadikan dasar pemidanaan.
Menteri BUMN Erick Thohir buka suara menanggapi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN). Adapun salah satu poin krusial dalam beleid ini adalah perubahan status direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN yang saat ini tidak lagi dikategorikan sebagai penyelenggara negara.
Lebih lanjut, ia menegaskan Kementerian BUMN bersama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) akan terus bersinergi untuk memperkuat upaya penindakan hukum khususnya di lingkup BUMN.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Hibnu Nugroho mengaku bingung dengan arah politik hukum Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) yang baru. Dalam undang-undang itu, jajaran direksi, organ, dan pegawai badan perusahaan BUMN disebut bukan merupakan penyelenggara negara. Pernyataan itu disampaikan Hibnu saat dihadirkan sebagai ahli pidana dalam sidang dugaan permufakatan jahat dan gratifikasi yang menjerat eks pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar dan advokat Lisa Rachmat.
Pada persidangan itu, pengacara Lisa, Arteria Dahlan, mencecar Hibnu terkait kekurangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang belum menyentuh perbuatan rasuah di sektor swasta. “Ini saya juga bingung, politik hukumnya (UU BUMN) ke mana,” kata Hibnu di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
UU BUMN yang dibahas secara kilat di DPR beberapa waktu lalu merontokkan konsepsi mengenai siapa penyelenggara negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Menurut Hibnu, ketentuan pada UU BUMN tersebut membuat KPK tidak berwenang menindak korupsi yang dilakukan para direksi BUMN. Pihak yang masih berwenang menindak mereka hanya jaksa dan polisi.
UU BUMN saat ini tengah menjadi sorotan karena membuat KPK tidak bisa menangkap pimpinan perusahaan pelat merah. Pasal 3X Ayat (1) UU itu menyatakan, “Organ dan pegawai Badan bukan merupakan penyelenggara negara”. Kemudian, Pasal 9G berbunyi, “Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara”. Sementara itu, UU KPK mengatur bahwa subyek hukum yang ditindak dalam korupsi adalah penyelenggara negara.