Stramed, Aliansi Mahasiswa Papua meneriakkan referendum usai diadang kepolisian saat hendak berdemonstrasi di kawasan Istana Negara, Jakarta, Senin (16/11).
Saat polisi menutup akses jalan ke Istana, orator Roland Levy menyebut pengadangan sebagai bentuk represi terhadap demokrasi. Polisi melarang mahasiswa Papua berdemonstrasi di Istana meski telah menyampaikan pemberitahuan dari pekan lalu. Polisi memasang kawat berduri dan menutup akses menuju Istana.
“Ini bukti pembungkaman terhadap demokrasi. Ini juga terjadi di Tanah Papua,” kata Roland di depan barikade kawat berduri.
Di tengah-tengah aksi, orator Roland Levy berulang kali meneriakkan referendum. Ia juga meneriakkan tuntutan untuk memerdekakan Papua.
“Referendum?” ucap Roland.
“Yes,” kata massa.
“Papua?” ucap Roland lagi.
“Otsus?” teriak Roland.
“Tolak,” sambut massa.
Massa pun tetap bertahan di kawasan Patung Arjunawiwaha. Demonstran menyampaikan orasi politik secara bergantian tentang potret ketidakadilan si Tanah Papua.
Sejumlah kelompok masyarakat Papua memperjuangkan referendum agar Papua bisa memisahkan diri dari Indonesia. Tuntutan ini menguat sejak akhir tahun 2019.
Pada 17 Agustus 2019, ada aksi rasisme oknum aparat kepada mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur. Aksi rasisme itu pun memicu gelombang demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa Papua di berbagai daerah.
Dari aksi itu, sejumlah tokoh pemuda Papua ditangkap dan dipenjara. Beberapa di antaranya adalah aktor yang berunjuk rasa di Jakarta, seperti Ambrosius Mulait dan Surya Anta Ginting.(CNNIndonesia)